REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Ulama yang dikenal dekat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Syeikh Yusuf al-Qaradawi meninggal dunia pada Senin (26/9/2022). Kabar duka itu disampaikan melalui pengumuman di Twitter resmi dari sosok alumni al-Azhar Mesir itu.
Syeikh al-Qaradawi wafat di usianya 96 tahun. Lahir di Mesir pada 9 September 1926, Qaradawi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Qatar. Ia menjadi salah satu ulama Muslim Sunni yang paling dikenal dan berpengaruh di dunia Arab berkat penampilan rutinnya di jaringan Aljazirah, Qatar.
Disiarkan ke jutaan rumah, khutbahnya pernah memicu ketegangan yang menyebabkan Arab Saudi dan sekutu Teluknya memberlakukan blokade terhadap Qatar pada 2017 dan menyatakan Qaradawi sebagai teroris. Ia memang dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis.
Qaradawi kerap dinilai oleh pengikutnya sebagai sosok ulama moderat yang mengajarkan penyeimbang ideologi radikal yang dianut oleh Alqaidah. Ia mengutuk keras serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat dan mendukung politik demokrasi. Namun, ia juga menyetujui kekerasan namun dalam takaran yang bisa dipahami.
Di Irak setelah invasi pimpinan AS tahun 2003, dia mendukung serangan terhadap pasukan koalisi. Qaradawi mendukung pengeboman bunuh diri Palestina terhadap sasaran Israel selama perlawan yang dimulai pada 2000.
Beberapa negara bagian Barat melarangnya masuk. Selama pemberontakan Musim Semi Arab, dia menyerukan agar pemimpin Libya Muammar Qadafi dibunuh dan menyatakan jihad melawan pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Qaradawi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sebagai seorang pemuda. Mengadvokasi Islam sebagai program politik, Ikhwanul telah dilihat sebagai ancaman oleh para pemimpin Arab otokratis sejak didirikan pada 1928 di Mesir oleh Hassan al-Banna, yang dikenal oleh Qaradawi.
Qaradawi menolak kesempatan untuk memimpin organisasi tersebut, sebab ia ingin berfokus pada khutbah dan keilmuan Islam dan membangun pengikut yang jauh melampaui organisasi tersebut.
Keunggulannya tumbuh setelah pemberontakan Arab 2011. Qaradawi juga sempat memboikot terhadap pemilihan presiden yang menjadikan panglima militer Abdul Fattah al-Sisi sebagai presiden pada 2014. "Tugas bangsa adalah melawan para penindas, menahan tangan mereka dan membungkam lidah mereka," kata Qaradawi saat itu.
Dipenjara berkali-kali di Mesir, Qaradawi dijatuhi hukuman mati secara in absentia oleh pengadilan Mesir pada 2015, bersama dengan Muhamad Mursi dan sekitar 90 orang lainnya. Qaradawi mengatakan putusan, yang terkait dengan pembobolan penjara massal pada 2011, adalah omong kosong dan melanggar hukum Islam. Ia mengatakan bahwa dia berada di Qatar pada saat itu.
Dia mengkritik Riyadh karena mendukung Sisi, sementara serangannya terhadap Sisi dan bantuan untuk Ikhwanul Muslimin memicu ketegangan antara Qatar di satu sisi, dan sisi lainnya adalah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Baik Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris pada 2014.
Pada 2014 ketika Riyadh dan sekutunya menarik duta besar dari Doha, Qaradawi menghentikan khotbah Jumatnya. Ia mengatakan dia ingin mengurangi tekanan pada Qatar, rumah keduanya sejak 1960-an.
Qaradawi telah menghafal Alquran pada usia 10 tahun. Ia adalah ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS), yang didirikan pada tahun 2004. Qaradawi menentang takfiri, sebuah konsep yang digunakan oleh militan Islam untuk membenarkan pembunuhan Muslim yang tidak setuju dengan mereka dengan menyatakan mereka tidak percaya.
Ia menyebutnya sebagai salah satu fenomena paling berbahaya yang dihadapi umat Islam sejak masa awal Islam. Qaradawi juga menentang kelompok ultra-radikal ISIS. Ia sama sekali tidak setuju dengan Daesh "dalam ideologi dan cara".
Di sisi lain, Qaradawi sangat mendukung perjuangan Palestina. "Kita harus berusaha untuk membebaskan Palestina, seluruh Palestina, inci demi inci," katanya pada saat kunjungan ke Gaza pada 2013.