Oleh : Nuraini, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Polusi udara di Jakarta mencapai level berbahaya bagi kesehatan. Beberapa kali indeks kualitas udara di Jakarta masuk ke level terburuk dunia yang menembus hingga di atas 165, atau kategori tidak sehat. Kondisi itu membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun tiga strategi dan 75 rencana aksi pengendalian pencemaran udara lewat Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU).
Berdasarkan keterangan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI, rangkaian strategi itu mencakup langkah-langkah dalam pengendalian terkait pencemaran udara dari hulu ke hilir mulai dari pengembangan dan revisi kebijakan hingga pengawasan dan penegakan hukum. Strategi yang mencakup 75 rencana aksi itu dikhususkan pada tiga strategi mulai dari tata kelola dalam menangani pencemaran udara hingga strategi pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Namun, apakah strategi itu mampu mengendalikan polusi udara DKI?
Pemprov DKI telah memiliki sejumlah kebijakan untuk mengendalikan polusi di antaranya pelaksanaan uji emisi kendaraan, ganjil genap, rekayasa lalu lintas, peralihan moda ke angkutan umum, pembangunan transportasi berbasis transit (TOD), hingga revitalisasi fasilitas pejalan kaki. Selain itu, Pemprov DKI memiliki rencana penggunaan armada bus listrik yang ditargetkan 100 unit pada akhir 2022 dan penggunaan kendaraan bermotor listrik untuk kendaraan operasional Pemda DKI sebanyak 200 unit pada 2023.
Pengendalian polusi udara di DKI Jakarta sudah semestinya menyasar penyebabnya. Keterangan dari DLH mengungkap penyebab polusi di DKI masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar oleh kendaraan pribadi. Pada 2020, jumlah kendaraan di DKI mencapai 20,22 juta unit. Jumlah itu belum memperhitungkan datangnya kendaraan dari wilayah sekitar DKI yang setiap hari dipakai oleh pekerja commuter.
Dengan penyebab polusi oleh kendaraan yang juga disumbang oleh wilayah lain, Pemprov DKI bekerja sama dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Banten) dan Pemerintah Kota Bekasi (Jawa Barat) untuk mengendalikan pencemaran udara di Ibu Kota. Kerja sama tersebut mencakup uji emisi kendaraan bermotor dan menyusun kebijakan bersama dalam mengendalikan pencemaran udara. Kerja sama tersebut juga akan diperluas dengan daerah penyangga ibu kota lainnya.
Kerja sama penanganan polusi udara itu memang langkah yang tepat. Akan tetapi, kerja sama itu tidak akan mencukupi jika kebijakan penanganan polusi udara hanya tersentral di DKI Jakarta. Kebijakan yang menyasar langsung penyebab polusi udara adalah pengalihan moda ke transportasi umum, mengingat banyaknya kendaraan pribadi yang menyumbang polutan. DKI Jakarta yang telah memiliki kebijakan dan armada angkutan umum yang mumpuni tidak cukup jika wilayah lainnya tidak melakukan langkah serupa. Pekerja commuter akan tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju Jakarta, jika kendaraan umum hanya mencakup wilayah ibu kota.
Kebijakan transportasi umum yang terintegrasi antar-wilayah melalui LRT yang belum juga beroperasi, tetap membutuhkan sokongan dari wilayah seputar Jakarta. Transportasi feeder dan terintregasi dengan moda transportasi umum Jakarta yang mudah dan murah semakin dibutuhkan untuk menekan jumlah kendaraan. Dengan upaya seluruh pihak itu, semoga polusi udara teratasi sehingga tidak perlu pindah ibu kota untuk merasakan udara bersih.