REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar tata hukum negara, Bivitri Susanti mengatakan, Mahkamah Agung (MA) memang memiliki independensi kekuasaan kehakiman. Namun, ia menilai, pemerintah tetap dapat melakukan pembaruan atau reformasi peradilan.
Bivitri menyebut, independensi kekuasaan kehakiman lebih terkait pada bagaimana hakim mengambil putusan. Sedangkan, reformasi peradilan itu dapat dilakukan asalkan tidak mengintervensi independensi hakim.
"Jadi ketika mereka (hakim) membuat putusan pengadilan, itu tidak boleh diintervensi dan juga harus imparsial. Sebenarnya poinnya itu, tapi kalau masalah manajemen pengadilan itu sendiri, sepanjang tidak mengganggu cara mereka mengambil putusan, sebenarnya bantuan dari eksekutif bisa dilakukan," kata Bivitri saat dihubungi Republika, Selasa (27/9/2022).
Ia mengungkapkan, para pegiat reformasi peradilan pun sudah mengeluarkan banyak catatan sejak tahun 1999. Bahkan, telah dibuat blueprint pembaruan peradilan dan pembaruan Mahkamah Agung dari tahun 2003.
Meski demikian, menurut dia, yang terpenting dari rencana pemerintah melakukan reformasi peradilan adalah memiliki keinginan politik (political will) terlebih dahulu. Sebab, jelas Bivitri, pembaruan hukum tidak hanya menyangkut reformasi undang-undang.
"Sekarang sudah terbukti yang penting juga adalah reformasi penegakan hukumnya, bukan hanya produk hukumnya," jelas dia.
"Jadi saya kira momentum ini harus segera diambil. Tak perlu sampai intervensi, tapi bisa saja misalnya duduk bersama antara Mahkamah Agung dengan KPK bagian Pencegahan, kemudian juga ada Komisi Yudisial yang juga datanya sudah banyak sekali dan sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan," imbuhnya.
Bivitri menambahkan, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD dapat duduk bersama dengan MA untuk membahas reformasi peradilan tersebut.
"Yang terpenting nanti pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan, harus dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri. Sifatnya eksekutif membantu dan itu tidak menjadi masalah. Dan yang terpenting jangan sampai cara membuat putusan pengadilannya itu yang dipengaruhi. Itulah inti independensi kekuasaan kehakiman,"
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD akan mencari formula untuk mereformasi bidang hukum peradilan menyusul operasi tangkap tangan (OTT) hakim agung Sudrajat Dimyati oleh KPK.
"Presiden meminta saya sebagai Menko Polhukam untuk mencari formula reformasi di bidang hukum peradilan, sesuai dengan instrumen konstitusi dan hukum yang tersedia," kata Mahfud dalam akun Instagram pribadinya @mohmahfudmd, Selasa (27/9/2022).
Menurut dia, Presiden Jokowi kecewa karena usaha pemberantasan korupsi yang cukup berhasil di lingkungan eksekutif, justru kerap kali gembos di lembaga yudikatif dengan tameng hakim itu merdeka dan independen.
"Presiden sangat prihatin dengan peristiwa OTT oleh KPK yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyati. Pemerintah sudah berusaha menerobos berbagai blokade di lingkungan pemerintah untuk memberantas mafia hukum, tapi sering gembos di pengadilan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Dia menjelaskan, pemerintah sudah bertindak tegas, termasuk mengamputasi bagian tubuhnya sendiri seperti menindak pelaku kasus korupsi Asuransi Jiwasraya, Asabri, Garuda, Satelit Kemhan, Kementerian, dan lainnya.
"Kejaksaan Agung sudah bekerja keras dan berhasil menunjukkan kinerja positifnya. KPK juga berkinerja lumayan. Tetapi kerap kali usaha-usaha yang bagus itu gembos di Mahkamah Agung (MA)," kata Mahfud.