REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyoroti netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berdinas di kantor kementerian apabila menterinya ikut jadi tim sukses calon presiden (Capres). Bawaslu tentu berharap ASN kementerian itu tetap netral saat gelaran Pemilu 2024.
Berbicara dalam Rakornas terkait netralitas ASN di Bali, Selasa (27/9), Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja awalnya menyampaikan bahwa Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menpan-RB Abdullah Azwar Anas bakal mendukung upaya-upaya menegakkan netralitas para abdi negara saat Pemilu 2024.
Kendati begitu, kata Bagja, tak ada yang tahu apakah dua menteri itu akan ikut dalam pemilu sebagai capres ataupun menjadi tim sukses capres. Bagja sendiri berharap agar dua menteri itu tak terlibat dalam pertarungan politik elektoral saat Pemilu 2024.
"Kalaupun terjadi, ASN akan terpisah dari gerak menterinya yang akan jadi tim sukses dan lain lain. Ini juga perlu kita komunikasikan bersama-sama dengan teman-teman ASN," kata Bagja.
Bagja juga mengungkapkan kekhawatiran serupa terhadap netralitas ASN di instansi pemerintah daerah. Netralitas para pegawai akan sulit terwujud apabila gubernurnya mencalonkan diri kembali. Apalagi, jika wakil gubernurnya juga maju dan sekretaris daerahnya juga ikut kontestasi.
"Bisa dibayangkan ASN-nya dikucak-kucak. Ini lah yang kita takutkan. Semoga tidak terjadi," ujar Bagja.
Bagja melontarkan kekhawatiran ini karena dirinya sudah menemukan fenomena seperti itu terjadi. Menurut dia, netralitas ASN ketika menteri atau kepala daerahnya terlibat dalam politik elektoral memang merupakan persoalan tersendiri buat para abdi negara. Dia pun menyadari bahwa ASN tak mungkin bisa benar-benar bersih dari politik praktis.
"Tapi ke depan semoga itu (keterlibatan ASN dengan politik) bisa diredusir .... Itu yang perlu kita sadarkan teman-teman ASN," ujarnya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyebut bahwa ASN di daerah sebenarnya tidak berdaya menolak paksaan untuk mendukung salah satu calon. Jika menolak, jabatannya bisa hilang ketika si calon berhasil menang dan menjadi kepala daerah.
Contoh nyatanya ditemukan sendiri oleh Bahtiar ketika menjadi Penjabat Gubernur Kepulauan Riau pada 2020 lalu. Dia mendapati sejumlah ASN di sana memberikan dukungan pada salah satu calon gubernur yang sedang berkontestasi. Bahtiar lantas mengumpulkan para ASN yang tak netral itu, lalu menegur semberi melontarkan ancaman kepada mereka.
"Rupanya mereka tidak takut dengan saya. 'Pak, saya lebih takut berhenti jadi kepala dinas dari pada bapak ancam saya'," kata Bahtiar.
Menurut Bahtiar, para ASN sampai ketakutan begitu karena mereka diancam dan diteror oleh calon kepala daerah. Demi menyelamatkan jabatan, mereka akhirnya melanggar prinsip netralitas ASN. "Jadi, memang ada situasi ketidakberdayaan teman-teman ASN," ujarnya.
Bahtiar mengatakan, kendati ketidakberdayaan ASN itu adalah fakta, tapi aturan yang berlaku tetap akan menjerat mereka yang tak netral saat Pemilu. Aturan yang ada saat ini belum didesain untuk menjerat orang yang memaksa dan meneror ASN agar berpihak pada salah satu calon.
Hukum positif yang mengatur netralitas ASN adalah UU Pemilu dan sejumlah Surat Keputusan Bersama (SKB). "Apabila ASN tidak netral, maka ada konsekuensi hukum, mulai dari hukuman paling ringan sampai hukum yang terberat," ujar Bahtiar.