REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui tidak bisa mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di media sosial. Kemendagri tidak punya alat maupun kemampuan melakukan hal tersebut.
"Saya sebagai direktur jenderal tidak punya alat untuk mengawasi staf saya di dunia maya dan tidak punya kemampuan juga," kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar dalam Rakornas Bawaslu terkait netralitas ASN, yang dipantau secara daring dari Jakarta, Selasa (27/9/2022).
Selama ini, lanjut Bachtiar, pihaknya menindak pelanggaran ASN di medial sosial masih menggunakan cara konvensional, yakni menunggu ada informasi atau laporan masuk. "Ada kejadian yang viral, baru ditindak," ucapnya.
Menurut dia, pengawasan ASN di media sosial adalah pekerjaan tersendiri yang tidak bisa dibebankan kepada instansi masing-masing. Pengawasan bisa dilakukan Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kominfo, dan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Ia pun berencana melibatkan pihak tersebut untuk bekerja sama mengawasi netralitas ASN. Selain memantau netralitas ASN, keterlibatan tiga pihak itu juga dibutuhkan untuk membedah konten pelanggaran netralitas itu sendiri.
Konten pelanggaran yang perlu dibedah itu, kata dia, terkait penyebaran video yang sudah diolah sedemikian rupa. Misalnya, seorang kepala dinas berpidato memuji bupatinya dalam sebuah forum sebelum pemilu. Saat masa kampanye, video pidato pada bagian pujian dipotong, lalu disebar di media sosial, sehingga menggambarkan seolah-olah si kepala dinas tidak netral.
"Mendeteksi yang seperti ini kan perlu kemampuan teknologi, apakah benar peristiwanya di masa kampanye atau di luar kampanye," ujar Bahtiar.
Dalam kesempatan sama, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengingatkan semua ASN agar tidak melanggar prinsip netralitas ketika menggunakan media sosial saat gelaran Pemilu Serentak 2024. Bawaslu juga mewanti-wanti agar ASN tidak menjadi buzzer atau pendengung salah satu calon di jagat maya.
"Kami harapkan ASN tidak termasuk buzzer yang kemudian membuat fitnah, hoaks dan lain-lain. Ini yang perlu kita jaga ASN ke depan," kata Bagja.
Bawaslu, kata dia, memberikan perhatian khusus pada media sosial karena penyebaran konten di dalamnya bisa membuat eskalasi politik antar calon menjadi panas. Konten yang dapat memicu eskalasi lebih lanjut itu adalah unggahan fitnah, hoaks, dan kampanye hitam.
Baca juga : Viral Puan Lempar Kaos, Hendri: Sebagai Manusia Kita Juga Pernah Kesal
Selain itu, lanjut dia, media sosial jadi perhatian kasus karena terbukti berhasil membuat kasus pelanggaran netralitas ASN meningkat. Saat Pemilu 2019, terdapat sekitar 500-an kasus pelanggaran netralitas ASN. Sedangkan saat Pilkada 2020, angka pelanggarannya naik jadi sekitar 1.000 kasus. "Pada 2020 tingkat pelanggaran besar karena media sosial salah satunya," kata Bagja.