REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Islam melarang perkataan dusta kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, semisal melindungi seorang yang tidak bersalah dari kejaran orang jahat.
Bagaimanapun, ada suatu tindakan yang lebih memerlukan ketajaman akal ketimbang berbohong, yakni bersiasat. Taktik itu dilakukan hanya melalui kata-kata yang dapat membuat lawan bicara memahami sesuatu secara berbeda.
Dalam buku Dzaka-u al-Fuqaha wa Daha-u al-Khulafa, Syekh Khubairi mengisahkan kepandaian Abu Bakar dalam membuat siasat. Ketika itu, ayahanda Ummul Mu`minin 'Aisyah tersebut sedang menemani Nabi Muhammad SAW berhijrah.
Perjalanan dari Makkah ke Madinah, dahulu bernama Yastrib, sangat berisiko. Orang-orang yang mengetahui bahwa Quraisy mengincar Rasulullah SAW berupaya memantau atau memata-matai beliau.
Saat sedang beristirahat, Abu Bakar tiba-tiba didatangi seorang pria. Laki-laki itu tanpa basabasi bertanya kepadanya sembari menunjuk Nabi Muhammad SAW, “Siapakah dia?” Dengan tenang, Abu Bakar menjawab, “Dia adalah al-hadi yang menunjukkan jalan kepadaku.” Mendengar jawaban itu, pria tersebut kembali menaiki kudanya dan beranjak pergi.
Sahabat Rasul SAW itu tidak berbohong, tapi bersiasat. Yang dimaksudkannya adalah Nabi SAW adalah pemberi petunjuk (al-hadi) menuju jalan kebenaran dan istiqamah. Sementara itu, yang dipahami mata-mata tersebut adalah bahwa lelaki yang mem bersamai Abu Bakar adalah seka dar penunjuk jalan.
Syekh Khubairi menuturkan cerita lainnya, yakni mengenai Imam Syafii. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, periode Mihnah pernah terjadi. Kata mihnah berakar dari mahana, yumhinu. Artinya, cobaan, ujian, atau bala.
Dalam fase tersebut, kalangan penguasa yang fanatik terhadap pemikiran Muktazilah melakukan berbagai persekusi.
Sasarannya adalah kaum ulama yang tidak sejalan dengan aliran tersebut. Salah satu pokok pembeda kala itu adalah dukungan atau penolakan terhadap status makhluk pada Alquran.
Suatu hari, Khalifah memanggil Imam Syafii. Penguasa langsung menginterogasinya, “Menurut Tuan, apakah Alquran adalah makhluk?” Sang fakih menja wabnya sambil menunjukkan jari telunjuk, Ia adalah makhluk.” Maka selamatlah ulama itu dari siksaan.
Ketika pulang, orang-orang bertanya dengan nada kecewa, “Mengapa engkau menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk? Padahal kami menyangka engkau akan menegaskan bahwa Alquran adalah Kalamullah.”
“Aku tidak mengatakan kepada Khalifah bahwa Alquran adalah makhluk. Aku mengacungkan jari telunjuk, lalu aku berkata, ia (jari) adalah makhluk,” terang Imam Syafii.
Rupanya, ada seseorang yang dengki terhadapnya sehingga melaporkan keterangan itu kepada Khalifah. Sang alim pun kembali dipanggil ke Istana. “Bagaimana pendapatmu, apakah Alquran makhluk atau bukan?” tanya sang raja.
Imam Syafii pun menyebutkan satu per satu empat kitab suci yang pernah diturunkan Allah SWT sembari berisyarat dengan keempat jarinya.
“Zabur, Taurat, Injil, dan Alquran. Empat ini adalah makhluk,” katanya. Mendengar itu, Khalifah merasa puas sehingga membiarkannya pulang. Padahal, yang dimaksudkan sang imam dengan empat ini adalah empat jarinya sendiri.
Karya Syekh Khubairi ini dengan bernas merangkum kisah-kisah yang menarik perihal kebolehan para umara dan ulama dalam mengatasi persoalan.