Kamis 29 Sep 2022 00:05 WIB

Pakar Ungkap Tiga Dampak dari Krisis Eropa Bagi Indonesia

Ekonom sebut dampak krisis Eropa yang pertama adalah melemahnya nilai tukar rupiah

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan dampak dari krisis di Eropa perlu diwaspadai karena memiliki tiga transmisi dampak ke Indonesia. Pertama, transmisi dari efek moneter karena inflasi yang tinggi, suku bunga naik membuat investor global melakukan pengalihan aset ke instrumen berdenominasi dolar AS.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan dampak dari krisis di Eropa perlu diwaspadai karena memiliki tiga transmisi dampak ke Indonesia. Pertama, transmisi dari efek moneter karena inflasi yang tinggi, suku bunga naik membuat investor global melakukan pengalihan aset ke instrumen berdenominasi dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan dampak dari krisis di Eropa perlu diwaspadai karena memiliki tiga transmisi dampak ke Indonesia. Pertama, transmisi dari efek moneter karena inflasi yang tinggi, suku bunga naik membuat investor global melakukan pengalihan aset ke instrumen berdenominasi dolar AS. 

“Keluarnya dana asing berpengaruh sampai ke negara berkembang, dengan penurunan penyerapan surat berharga negara (SBN) oleh investor asing. Jika berlanjut penguatan indeks dollar di atas level 114, maka rupiah bisa melemah. Dalam waktu dekat Rupiah bisa menyentuh range 15.400-15.500 per dollar AS,” ucapnya.

Kedua, transmisi perdagangan dimana pelemahan permintaan di Eropa baik bahan baku maupun barang konsumsi membuat prospek ekspor Indonesia terpengaruh. Hal ini terjadi moderasi juga pada harga komoditas contohnya harga sawit kembali ke posisi Juni 2021. 

Ketiga, transmisi dari penurunan pendapatan berbagai sektor dibarengi dengan efek psikologis konsumen yang menahan belanja mengakibatkan guncangan. Sebagai contoh, pembeli rumah menggunakan KPR di dalam negeri terdampak oleh naiknya tingkat suku bunga pinjaman. 

Baca juga : Jokowi: Pemerintah akan Pertahankan Defisit APBN di Bawah 3 Persen

“Apalagi 78 persen pembelian rumah menggunakan skema kredit pemilikan rumah (KPR), maka variabel suku bunga disertai tingginya inflasi menyurutkan minat pembelian sektor properti,” ucapnya.

Maka itu, Bhima meminta pemerintah untuk mewaspadai krisis di Eropa. Menurutnya pemerintah perlu memperkuat pertahanan moneter dengan mendorong masuknya devisa hasil ekspor terutama sektor berbasis komoditas yang selama ini menikmati booming harga. 

“Memberikan berbagai relaksasi bagi konsumen di dalam negeri melalui pengurangan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi delapan persen selama dua tahun. Mencari pasar alternatif ekspor misalnya ke Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan selama proses kontraksi permintaan di Eropa terjadi,” ucapnya.

Baca juga : 35 Calon Emiten Antre IPO, Termasuk Afiliasi BUMN

Bhima juga meminta pemerintah untuk memberikan insentif lebih besar ke sektor properti melalui peningkatan belanja FLPP, subsidi uang muka rumah, dan kredit konstruksi dengan bunga yang lebih rendah. 

“Mengarahkan belanja pemerintah counter-cyclical yakni mempertebal belanja perlindungan sosial yang baru mencapai 2,5 persen dari PDB, idealnya dalam kondisi tekanan ekonomi perlindungan sosial dinaikkan menjadi empat sampai lima persen dari PDB,” ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement