Kamis 29 Sep 2022 10:47 WIB

PPMAN Ajukan Permohonan Uji Materiel Terhadap Perpres Pasar Karbon

Perpres 98/2021 tentang pasar karbon dinilai tak mengatur pelibatan masyarakat adat.

Red: Priyantono oemar
Fatiatulo Lazira SH saat pengajuan permohonan uji materiil Perpres 98/2021.
Foto: Dokumentasi PPMAN/AMAN
Fatiatulo Lazira SH saat pengajuan permohonan uji materiil Perpres 98/2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada Rabu (28/9/2022), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021. Perpres 98/2021 itu mengatur tentang pasar karbon. Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim.

“Muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon,” jelas Fatiatulo Lazira SH, koordinator PPMAN Region Jawa, sekaligus ketua Tim Hukum Permohonan Uji Materiil Perpres 98/2021 dalam rilisnya yang diterima Republika.co.id, Kamis (29/9).

PPMAN merupakan organisasi sayap Alianasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat. PPMAN menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

PPMAN menilai, Perpres 98/2021 justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon. Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon. Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya.

Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya.

Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat masing-masing sekitar 490 hektare dan 462 hektare. Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adat secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan, sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat. “Di tengah penghancuran (terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persen keanekaragaman hayati di dunia,” ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama.

Menurut Rukka, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga keanekaragaman hayati yang tersisa. Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon. Terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

PPMAN mengingatkan, pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement