Kamis 29 Sep 2022 11:55 WIB

Bank Dunia: Waspada Risiko Stagflasi dan Kemungkinan Resesi di Eropa

Waspadai stagflasi atau periode pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Presiden Bank Dunia David Malpass pada Rabu (28/9/2022) mengatakan, ada kemungkinan peningkatan resesi di Eropa.
Foto: CNBC.com
Presiden Bank Dunia David Malpass pada Rabu (28/9/2022) mengatakan, ada kemungkinan peningkatan resesi di Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Bank Dunia David Malpass pada Rabu (28/9/2022) mengatakan, ada kemungkinan peningkatan resesi di Eropa. Sementara pertumbuhan China melambat tajam dan output ekonomi Amerika Serikat (AS) telah berkontraksi pada paruh pertama tahun ini.

Dalam pidatonya di Standford University, Malpass memperingatkan, perlu waktu bertahun-tahun bagi produksi energi global untuk melakukan diversifikasi dari Rusia setelah invasinya ke Ukraina. Langkah ini dapat memperpanjang risiko stagflasi, atau periode pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi. Perkembangan tersebut akan memiliki konsekuensi serius bagi negara-negara berkembang.

"Mengatasi badai sempurna saat ini dari kenaikan suku bunga, inflasi tinggi dan pertumbuhan yang melambat memerlukan pendekatan makro dan mikro ekonomi baru, termasuk pengeluaran yang ditargetkan lebih baik dan upaya yang disampaikan dengan jelas untuk meningkatkan pasokan," kata Malpass.

Baca juga : Krisis Energi, Toko Roti Keluarga Schlechtrimen Tutup Setelah 90 Tahun Beroperasi

Malpass mengatakan, laporan "Poverty and Shared Prosperity” Bank Dunia menunjukkan bahwa prospek dalam mengurangi kemiskinan telah melambat pada 2015, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Prospek yang melambat ini menambah jumlah orang yang masuk ke dalam kemiskinan ekstrem menjadi 70 juta orang.

Laporan tersebut yang akan dirilis pada pekan depan, juga menunjukkan penurunan dalam pendapatan median global sebesar 4 persen. Ini adalah penurunan pertama sejak Bank Dunia mulai mengukur indikator itu pada 1990.

“Negara berkembang menghadapi prospek jangka pendek yang sangat menantang yang dibentuk oleh harga pupuk dan energi yang meningkat tajam, kenaikan suku bunga dan selisih kredit, depresiasi mata uang dan arus keluar modal,” kata Malpass.

Malpass mengatakan, bahaya yang mendesak bagi negara berkembang adalah perlambatan tajam pertumbuhan global semakin mendorong resesi global. Malpass mencatat, banyak negara-negara berkembang masih berjuang untuk kembali ke tingkat pendapatan per kapita pra-pandemi pada saat iklim meningkat untuk mengubah risiko.

Baca juga : Diklaim Terbesar Sepanjang Sejarah, Kerugian Akibat Kasus Indosurya Rp 106 Triliun

Malpass mendesak negara-negara untuk mencari cara mengurangi inflasi di luar kenaikan suku bunga. Termasuk dengan meningkatkan efisiensi fiskal untuk menargetkan pengeluaran lebih banyak kepada orang miskin dan rentan. Penyesuaian tersebut akan meningkatkan alokasi modal global, memberikan jalan untuk mengurangi inflasi sambil memulai kembali pertumbuhan pendapatan rata-rata.

Menurut Malpass, dibutuhkan lebih banyak dana untuk pendidikan, kesiapan kesehatan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Langkah ini perlu dibarengi dengan upaya untuk mengurangi tingkat utang yang membebani banyak negara berkembang.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement