REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perusahaan BUMN di bidang farmasi PT Bio Farma (Persero) mengawali tahapan ekspor vaksin Covid-19 IndoVac dengan berdonasi ke sejumlah negara berpenghasilan menengah ke bawah. Tahap awal donasi vaksin berplatform teknologi protein rekombinan hasil pengembangan penelitian bersama Baylor College of Medicine (BCM) itu ditujukan kepada negara di Benua Afrika.
"Kalau untuk harapannya, memang ada ekspor (vaksin IndoVac). Tapi untuk tahap pertama, mungkin donasi dari Indonesia, terutama untuk negara yang low middle income countries," kata Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
"Mungkin beberapa negara Afrika. Ya mungkin saya katakan begini, seperti vaksin Polio, kami kan banyak (donasi) di Afrika, mungkin tidak jauh beda targetnya dengan vaksin Polio itu," katanya.
Bio Farma pada bulan ini telah mengekspor vaksin Polio atau novel Oral Polio Vaccine type 2 (nOPV2) setelah mendapatkan kontrak permintaan dari UNICEF, organisasi PBB yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada anak di negara-negara berkembang, untuk alokasi tahun 2022 dan 2023 melalui skema multilateral. Negara-negara Afrika pengguna vaksin nOPV2 dari Bio Farma itu di antaranya Aljazair, Kamerun, Kongo, Djibouti, Ethiopia, Gambia, Ghana, Nigeria, Senegal, dan Uganda.
Vaksin tersebut diproduksi Bio Farma yang memiliki kantor pusat dan pabrik seluas 91.058 meter persegi di Bandung, Jawa Barat, serta berkantor perwakilan di Jakarta. Bio Farma memiliki kapasitas produksi lebih dari 3,2 miliar dosis vaksin per tahun dan telah mengekspor produknya ke lebih dari 150 negara.
Bio Farma telah menjalin komunikasi dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Luar Negeri untuk memetakan permintaan donasi vaksin Covid-19 dari beberapa negara yang masih membutuhkan. "Sehingga ini nanti jadi bisa donasi dari Indonesia untuk dunia," katanya.
Untuk vaksin IndoVac, Bio Farma memproduksi sekitar 20 juta dosis untuk tahap awal usia mengantongi izin edar darurat (EUA) BPOM RI. Jumlah tersebut dapat dinaikkan menjadi 40 juta dosis per tahun pada 2023 dengan penambahan fasilitas produksi.
Selanjutnya, kapasitas produksi bisa dinaikkan lagi menjadi 100 juta dosis per tahun pada 2024, tergantung pada kebutuhan dan permintaan. "Setelah dapat EUA, kami baru nanti daftarkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), agar dapat Emergency Use Listing (EUL)," katanya.
EUL merupakan salah satu prosedur yang perlu ditempuh produsen vaksin untuk ambil bagian dalam proses ekspor.