REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kebijakan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau atau cukai rokok setiap tahun dinilai tidak adil. Saat pandemi Covid 19 sedang menggila pada 2020-2021, industri lainnya di tanah air mendapat insentif, industri rokok justru dibebani dengan kenaikan cukai rokok yang besar dan memberatkan.
Pada 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak negatif ke berbagai sektor kehidupan masyarakat termasuk industri. Maka itu, agar industri rokok tidak semakin menderita dan tumbang, pemerintah diminta bijaksana dengan tidak menaikan cukai rokok pada 2023 mendatang.
“Kami sangat menolak kenaikan cukai rokok pada 2023. Kami sudah sampaikan hal ini ke menteri keuangan dengan alasan tentunya, bukan hanya sekedar menolak karena selama ini formasi realistis saja. Tahun depan dengan baru pulihnya ekonomi seusai pandemic kita memohon pemerintah tidak menaikkan cukai pada tahun depan,” ujar Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto kepada wartawan, Kamis (29/9/2022).
Menurutnya apabila pemerintah ngotot menaikkan cukai rokok banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Pertama, akan terjadi pengurangan pegawai atau buruh yang berarti menghasilkan pengangguran yang sangat banyak. Padahal saat ini ekonomi sedang sangat sulit. Yang kedua akan semakin banyak rokok ilegal. Kedua, industri rokok terutama pabrikan rokok menengah dan kecil semakin banyak yang gulung tikar.
“Itu berarti menimbulkan efek negatif juga bagi pemerintah, akan semakin mempersulit ekonomi,” ucapnya.
Sementara itu Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi menambahkan usulan kenaikan cukai rokok setiap tahun selain karena pemerintah membutuhkan dana juga karena adanya tekanan dari dunia luar terutama kalangan lembaga swadaya masyarakat, agar menaikan cukai rokok. Benny berharap pemerintah berani melawannya dengan tidak menaikan cukai rokok.
“Pemerintah seharusnya mempertimbangkan kepentingan industri nasional, kepentingan ekonomi nasional, kepentingan petani, dan kepentingan buruh. Di sini harusnya ada keseimbangan. Apalagi kita baru saja menghadapi Covid-19 yang memporak porandakan sektor ekonomi secara keseluruhan. Industri rokok sebagai bagian dari industri dan bagian dari ekonomi harusnya dapat pulih dulu, terlepas dari adanya gerakan anti tembakau tadi,” ucapnya.
Penolakan yang sama juga disampaikan kalangan petani tembakau. Penasehat Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) wilayah Jawa Tengah Triyono dengan tegas menolak rencana atau usulan kenaikan cukai rokok pada 2023 mendatang.
“Tidak perlu adanya kenaikan Cukai Rokok, Sebesar apapun tidak perlu dinaikan, Karena selama ini cukai rokok sudah sangat tinggi. Karena itu pemerintah tidak perlu manaikannya lagi,” ucapnya.
Menurut Triyono, kenaikan cukai rokok yang dilakukan pemerintah setiap tahun, bukan hanya merugikan kalangan industri rokok beserta para buruhnya. Petani tembakau pun terkena imbasnya. Sebab pembelian tembakau produksi petani menjadi semakin berkurang. Hal ini merugikan dan menyengsarakan nasib dan perekonomian petani tembakau yang sedang susah karena terkena dampak kenaikan BBM.
“Kalau pemerintah masih juga menaikan cukai rokok, akan semakin memperburuk kondisi kesejahteraan petani tembakau. Akan banyak dari para petani tembakau yang berhenti menanam tembakau karena terus merugi. Dan itu menyengsarakan nasib petani tembakau,” ucapnya.