REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Psikolog Puskesmas Kecamatan Kemayoran Moriska Kartika Triana MPsi mengatakan, tempat dan pakaian bukan yang paling bersalah dalam suatu peristiwa kekerasan seksual. Namun, yang salah adalah pelaku kekerasan seksual itu sendiri.
"Pelaku kekerasan adalah orang yang paling bersalah, apa pun alasannya, apa pun bentuknya, apa pun alibinya, tetap pelaku adalah orang yang paling bersalah. Karena hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai moralitas," kata Moriska dalam seminar daring yang dilaksanakan Puskesmas Kecamatan Kemayoran, Kamis (30/9/2022).
Moriska menjelaskan, berdasarkan perspektif psikoanalisa sederhana untuk memahami dinamika perilaku kekerasan seksual manusia, dikenal faktor Id yaitu dorongan yang bersifat primitif atau tidak bisa ditahan, seperti lapar, mengantuk, haus, dan masalah seksual.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah seksualitas juga kebutuhan dasar manusia," kata Moriska.
Mengingat kebutuhan mendasar, dorongan seksual bisa muncul saat waktu yang tidak tepat. Misalnya, saat berada di kampus, sarana transportasi umum, atau sedang bekerja.
Namun, katanya lagi, semua itu bisa ditahan oleh faktor yang kedua, yaitu superego. Superego ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan moralitas dengan nilai-nilai yang kita punya sepanjang hidup.
Misalnya, terkait kebutuhan seksualitas yang muncul di siang hari, kata Moriska, faktor superego berupa moralitas ini yang menahan manusia untuk tidak memuaskan kebutuhan seksualitasnya saat itu.
Moriska menyatakan orang yang tidak memiliki moralitas atau mungkin kecil sekali, maka perilaku seksual bisa menjadi tidak terkendali.
"Itu terjadi pada orang-orang yang melakukan kekerasan seksual. Moralitas mereka kecil sekali, sehingga mereka mengeluarkan perilaku dengan perspektif dari ego," kata Moriska.
Berdasarkan perspektif psikoanalisa sederhana ini pula, Moriska membantah, bahwa peristiwa kekerasan seksual merupakan kesalahan tempat dan pakaian yang digunakan oleh korban.
Dia mencontohkan, peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan-lingkungan yang sebenarnya baik dan aman. Namun, karena orang bermoralitas rendah, kekerasan seksual tetap terjadi.
Contohnya, kekerasan seksual yang dialami para santri di Bandung, Jawa Barat. Tidak ada yang kondisi santri yang menggoda kiai karena banyak aturan yang membatasi itu, misalnya santri dilarang memakai pakaian ketat.
Menurutnya lagi, mau menyalahkan tempat pun tidak bisa. Ini karena pesantren yang dalam pikiran banyak orang pasti memiliki kesan aman dan melindungi dari luar.
"Ini menyadarkan kita bahwa kondisi korban bukan penyebab terjadinya kekerasan seksual," ujar Moriska.
Sebagai manusia yang berperikemanusiaan, Moriska meminta, masyarakat agar paling tidak bisa mendukung dengan mencari cara bagaimana agar korban bisa keluar dari rasa trauma, atau rasa malu, takut, dan sebagainya, bukan cenderung menyalahkan pakaian dan tempat.
"Itu tugas kita untuk mendampingi mereka. Tugas kita untuk menemani supaya mereka kuat lagi. Masalah kekerasan seksual bukan tugas perseorangan untuk mengatasinya," kata Moriska.
Pendampingan kejiwaan ini sangat penting didapatkan segera, katanya lagi, terutama bagi korban kekerasan seksual supaya luka yang timbul pada kejiwaan tidak semakin menganga dan bisa segera dipulihkan.
Psikolog Puskesmas Kecamatan Kemayoran itu meminta masyarakat melaporkan ke puskesmas jika terjadi peristiwa kekerasan seksual di lingkungan, agar korban bisa segera mendapatkan pendampingan psikologis dan pemulihan trauma.
Menurut Moriska, puskesmas akan meneruskan laporan tersebut kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk proses selanjutnya terhadap korban yang mengalami kekerasan seksual, baik pendampingan psikologis maupun pemulihan traumanya.
"Puskesmas bekerja sama dengan P2TP2A siap membantunya, mereka juga mempunyai psikolog untuk memfasilitasi pendampingan korban kekerasan seksual ini dan pemulihan traumanya. Data-data privasi bisa dirahasiakan," kata Moriska lagi.