Jumat 30 Sep 2022 09:57 WIB

APTRI Sebut Perpres Swasembada Gula Hanya Akal-akalan untuk Impor

Draft Perpres Swasembada sebut pemerintah akan fasilitasi PTPN untuk impor gula.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Buruh tebang mengangkut tebu yang dipanen di kawasan perkebunan Kepanjen, Malang, Jawa Timur. Asosiasi Petani Tebut Rakyat Indonesia (APTRI) menolak rencana pemerintah yang akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan swasembada gula yang dicanangkan pemerintah pada 2025.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Buruh tebang mengangkut tebu yang dipanen di kawasan perkebunan Kepanjen, Malang, Jawa Timur. Asosiasi Petani Tebut Rakyat Indonesia (APTRI) menolak rencana pemerintah yang akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan swasembada gula yang dicanangkan pemerintah pada 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebut Rakyat Indonesia (APTRI) menolak rencana pemerintah yang akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan swasembada gula yang dicanangkan pemerintah pada 2025.

Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen, menjelaskan, penolakan terhadap rencana kebijakan itu menyikapi beredarnya draft perpres swasembada gula yang bocor. Salah satu poin utama dalam perpres tersebut, yakni pemerintah akan memberikan fasilitasi kepada BUMN Holding Perkebunan, PTPN III (Persero) untuk melakukan impor gula.

"Ada pencanangan swasembada lagi di tahun 2025. Itu omong kosong dan hanya akal-akalan, karena arahnya swasembada, tapi ujung-ujungnya impor,” kata Soemitro melalui pernyataan tertulisnya diterima Republika.co.id, Jumat (30/9/2022).

Swasembada gula sejatinya telah berkali-kali dicanangkan pemerintah sejak masa Presiden SBY. Dimulai tahun 2008 target swasembada, kemudian berlanjut pada 2013 namun selalu meleset. Di era pemerintahan Jokowi, target swasembada gula juga selalu meleset saat ditargetkan di tahun 2019 lalu pada 2022.

Soemitro menilai, program swasembada tidak pernah tercapai karena pemerintah tidak pernah serius menjalankan program swasembada.

Ia menuturkan, semua perusaahan baik BUMN atau swasta yang membangun pabrik gula baru diwajibkan untuk menanam tebu. Namun, sebagai kompensasi, perusahaan akan mendapat kuota impor gula mentah selama lima tahun sebagai bahan baku. Diharapkan, setelah itu mereka sudah bisa memenuhi 100 persen bahan baku dari tebu dan tidak perlu impor.

Industri gula rafinasi juga diwajibkan untuk menanam tebu. Namun, kata Soemitro, kenyaataannya baik pabrik gula konsumsi maupun rafinasi tidak menanam tebu. Justru malah membeli tebu petani sehingga lahan tebu tidak pernah bertambah.

“Semenjak era Presiden SBY sampai Presiden Jokowi juga terus begitu. Dan anehnya, selama ini tidak pernah ada sanksi tegas bagi yang mendapat izin impor tapi tidak mau menanam tebu," ujarnya.

Sekretaris Jenderal APTRI, Muhammad Nur Khabsyin mengatakan, program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah sebenarnya dihambat sendiri oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Sebagai contoh adalah kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani yang tidak pernah naik sejak tahun 2016 sampai 2022.

“Sejak beberapa tahun terakhir, HPP tak pernah beranjak dari angka Rp 9.100 per kg. Baru awal giling tahun ini HPP dinaikkan menjadi Rp 11.500 per kg. Meski naik, sebenarnya HPP tersebut juga belum bisa menutup biaya pokok produksi yang sudah melebih Rp 12.000 per kg," ujarnya.

Selain itu, ada pula kebijakan harga eceran tertinggi (HET) gula sebesar Rp 12.500 per kg sejak tahun 2016 hingga 2022 sangat membelenggu petani walaupun awal musim giling tahun ini naik menjadi Rp 13.500.

Seharusnya, pemerintah tak perlu mengatur harga jual gula karena gula bukan milik pemerintah sebagaimana halnya bahan bakar minyak. Pemerintah cukup menetapkan HPP gula saja.

“Selain itu ada pula kebijakan pencabutan subsidi pupuk yang menyebabkan pupuk langka dan harganya naik 300 persen hingga 500 persen. Ini membuat biaya produksi semakin meningkat,” ujarnya.

Selain itu, termasuk juga yang menghambat swasembada gula adalah setiap kali memasuki musim giling tebu, impor gula konsumsi masuk ke Indonesia bahkan bocornya gula rafinasi khusus industri ke pasar konsumsi. Itu menyebabkan harga gula petani jatuh dan membuat petani tak lagi semangat menanam tebu karena tidak menguntungkan.

"Pemerintah tak perlu terbitkan perpres percepatan swasembada, karena program sebelumnya sudah ada peta jalannya. Yang perlu dilakukan menagih janji perusahaan yang mendapat izin impor untuk melaksanakan kewajibannya menanam tebu," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement