REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Sholahuddin Al Aiyub menyampaikan pemaparan yang patut direnungi, tentang transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid dalam konsep Islam. Dia menjelaskan, ilmu itu dalam Islam adalah nurullah, atau cahaya Allah SWT.
"Turunnya atau masuknya ilmu kepada seseorang itu bukan begitu saja. Ada kondisi-kondisi di mana ilmu itu menyatu pada seseorang," jelasnya kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Dalam konsep Islam, ilmu bukan hanya kognisi, dan bukan hanya pengetahuan. Tetapi ilmu adalah segala sesuatu yang membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ilmu seperti itu adalah nurullah yang berarti cahaya Allah.
Orang yang menyebabkan cahaya Allah bisa masuk kepada seseorang, adalah orang terpilih, dan orang yang mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Orang yang demikian ini adalah guru. "Jadi orang yang membawa ilmu masuk kepada seseorang adalah guru," tuturnya.
Kiai Aiyub melanjutkan, dalam konsep Islam, sebelum mentransfer ilmu pengetahuan dalam arti kognisi, harus didahului adanya adab atau budi pekerti. Istilahnya ialah al-adab qobla al-ilmi. Adab harus didahulukan sebelum masuknya kognisi, yakni keilmuan dalam konteks kognisi.
Bila konsep tersebut dipahami, semua akan menyadari bahwa dalam transfer keilmuan itu bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan juga ada penanaman karakter dan budi pekerti, yang tidak hanya dilakukan dengan pengajaran yang bersifat ucapan.
"Justru penanaman karakter dan budi pekerti itu akan sangat kuat dan masuk di dalam perilaku yang dicontohkan oleh para guru," lanjutnya.
Menurut Kiai Aiyub, saat ini ada kesenjangan antara apa yang diajarkan dengan apa yang dihadapi atau yang diterima oleh para murid di luar kelas atau di luar sekolah. Seperti media sosial (medsos) dan televisi, yang nilainya tentu sangat berbeda.
"Begitu juga terkait dengan para guru. Kita juga harus autokritik kepada para guru terkait dengan hal itu. Karena pendekatannya hanya lebih banyak pada pendekatan pengajaran kognitif saja, sehingga ada ruang hampa yang belum terisi, yaitu karakter dan budi pekerti," ungkapnya.
Keadaan tersebut menyebabkan banyak murid yang secara kognitif mempunyai pengetahuan luas, tetapi secara adab, karakter, akhlak, maupun budi pekerti, itu kurang. Bila merujuk pada kitab-kitab turos, maka di dalamnya ditemukan tentang bagaimana adab dalam belajar dan mengajar.
"Bahwa hubungan antara murid dan guru bukan hanya di kelas lalu setelah mengajar itu lantas selesai. Bukan. Bahkan hubungannya disebut dengan murob birruh, yaitu guru yang mendidik ruh murid-murid," terangnya.
Maka tak heran, dalam khazanah pesantren, hubungan guru dan murid bukan hanya ketika mereka ada di tempat pengajaran. Bahkan ketika yang satu sudah wafat sekalipun, hubungan guru dan murid itu masih ada. Mereka bertemu dengan gurunya dan diingatkan tentang satu-dua hal.
"Itulah yang namanya murobbirruh, orang yang mendidik ruh seseorang. Sebenarnya, dalam konsep Islam, pengajaran dan pendidikan ya memang seperti itu. Bukan hanya aspek kognitif tetapi juga aspek karakter, budi pekerti, dan bahkan aspek ruhani. Karena inilah yang akan membimbing murid kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat," ujarnya.
Lantas, bagaimana cara seorang Muslim memilih guru? Kiai Aiyub memaparkan, dalam konteks lembaga pendidikan, tentu tidak bisa memilih guru. Karena itu, yang terpenting adalah siapa guru yang akan menjadi mental model atau contoh bagi seorang murid. Sebab, bagaimana pun, dari sekian banyak guru, pasti ada satu atau dua guru yang murid idolakan.
"Di sinilah yang akan menjadi penting dan sosok guru ini punya pengaruh yang sangat kuat kepada murid. Dalam kondisi itu, maka dalam khazanah kita, pilihlah guru yang sesuai antara qowlan wa amalan, yakni antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari," kata dia.
Memilih guru yang selaras antara perkataan dan perbuatannya, adalah sesuatu yang sangat mendasar. Sebab, al-Ilmu bi Laa Amalin ka al-Syajari bi Laa Tsamarin, yang artinya ilmu tanpa ada pelaksanaan, tanpa ada implementasi, tanpa ada amal, itu bagaikan pepohonan yang tanpa ada buah. Manfaat dan maslahatnya kurang.
"Maka kalau ingin memilih guru, yang akan menjadi mental model, cari seorang sosok di guru itu yang bisa menjadi contoh dalam hal keilmuan dan contoh dalam sisi akhlak dan karakter, yaitu guru yang sesuai antara perkataannya, perbuatannya, serta tindak-tanduknya," demikian penjelasan Kiai Aiyub.