REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pakar arsitektur Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Siti Rukayah mengatakan, pemetaan arsitektur bangunan kuno dan kawasan bersejarah sebelum hilang akibat penurunan permukaan tanah merupakan tahap awal kegiatan konservasi.
"Pemetaan arsitektur bangunan kuno dan kawasan bersejarah di pesisir sejak bangunan dan kawasan itu hilang merupakan tahap awal kegiatan konservasi," kata Guru Besar Fakultas Teknik Undip Semarang itu di Semarang, Jumat.
Inventarisasi arsitektur bangunan kuno dan kawasan bersejarah dapat digunakan sebagai referensi kegiatan rekonstruksi, revitalisasi, perancangan, pengendalian, serta penataan kawasan pesisir.
Ia menjelaskan penurunan bangunan kuno yang terjadi sejak bangunan itu didirikan hingga saat ini dapat digunakan sebagai titik duga kedalaman penurunan permukaan tanah.
"Pemetaan arsitektur bangunan kuno dan kota bersejarah di pesisir pada kawasan yang mengalami penurunan permukaan tanah dan rob menjadi arahan kebijakan pemerintah dalam melakukan konservasi dan preservasi kawasan dan tata ruang kota berbasis sejarah yang berkelanjutan," tambahnya.
Salah satu contoh pengukuran penurunan permukaan tanah, kata dia, dapat dilihat dari keberadaan stasiun pertama di Indonesia yang ada di Semarang yang telah hilang jejaknya.
Ia menjelaskan sisa bangunan stasiun kereta api pertama yang berdiri pada 1984 itu menjadi titik duga terjadinya penurunan tanah sekitar 6 sampai 7 meter.
"Dengan demikian, rata-rata penurunan permukaan tanah di kawasan di sekitar stasiun itu mencapai 22,6 cm per tahun," katanya.
Stasiun Tawang Semarang yang kini menjadi penggantinya pun, kata dia, sudah berada 1,5 meter di bawah jalan lingkungan di sekitarnya.