Sabtu 01 Oct 2022 09:48 WIB

Psikiater: Stigma Buruk Gangguan Mental Halangi Pasien Berobat

Gangguan jiwa bersifat kompleks mulai dari gangguan neurokimia otak.

Red: Ratna Puspita
Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Jiemi Ardian, SpKJ mengatakan, stigma buruk mengenai gangguan mental yang kerap ditemui di masyarakat menghalangi pasien untuk mendapatkan pengobatan atas kesehatan jiwanya.
Foto: Pixabay
Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Jiemi Ardian, SpKJ mengatakan, stigma buruk mengenai gangguan mental yang kerap ditemui di masyarakat menghalangi pasien untuk mendapatkan pengobatan atas kesehatan jiwanya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Jiemi Ardian, SpKJ mengatakan, stigma buruk mengenai gangguan mental yang kerap ditemui di masyarakat menghalangi pasien untuk mendapatkan pengobatan atas kesehatan jiwanya. Stigma buruk seperti lemah, kurang bersyukur, kurang ibadah, dan aib keluarga.

"Stigma-stigma ini membuat seseorang tidak mencari pertolongan atas kesehatan jiwanya jika ada masalah. Seseorang jadi menjauhkan diri dari pertolongan," kata dokter yang bergabung di Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) itu dalam acara bincang-bincang virtual mengenai kesehatan mental yang diikuti dari Jakarta, Jumat (30/9/2022).

Baca Juga

Menurut Jiemi, terdapat asumsi keliru di tengah masyarakat yakni bahwa gangguan jiwa terbatas seakan-seakan semuanya berasal dari pikiran. Padahal, kata dia, gangguan jiwa bersifat kompleks mulai dari gangguan neurokimia otak, sistem saraf, genetik, yang kemudian mempengaruhi reaksi seseorang.

Selain itu, masih banyak yang menganggap orang dengan gangguan mental adalah orang yang lemah, kurang bersyukur, dan kurang ibadah. Orang-orang dengan gangguan mental juga sering dianggap sebagai aib keluarga.

Akibat dari stigma-stigma tersebut, Jiemi mengatakan banyak orang yang tidak berani menemui psikolog atau psikiater sehingga mendiagnosis diri sendiri. Padahal, tindakan tersebut sangat berbahaya bagi dirinya.

"Sedikit cerita, pernah ada seseorang yang yakin sekali dirinya mengalami depresi. Tapi saat konsultasi saya melihat ada kemerahan di kulit-kulitnya dan saya melihat ada tanda-tanda tertentu yang saya curiga kayaknya dia sakit autoimun. Lalu saya cek profil autoimunnya, benar autoimun," ujar Jiemi.

Jadi, menurut Jiemi, yang dianggap depresi ternyata adalah gejala autoimunnya. "Bahaya loh kalau dipercaya hanya sebagai depresi lalu kita curhat dan berasumsi kok depresinya enggak sembuh-sembuh, karena mungkin itu memang bukan depresi," lanjutnya.

Masalah lain yang timbul akibat mendiagnosis diri sendiri, lanjut Jiemi, adalah pasien tidak mendapatkan penanganan sehingga kondisinya tak kunjung membaik, atau bahkan semakin parah. "Ini seperti saya sakit jantung tapi kemudian tidak ke dokter, kan enggak mungkin, ya," katanya.

Selain itu, Jiemi mengatakan, mendiagnosis diri sendiri juga sangat memungkinkan pasien melakukan penanganan mandiri yang keliru. "Tentu saja, penanganannya keliru ya karena diagnosisnya juga keliru," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement