Ahad 02 Oct 2022 01:05 WIB

Bisakah Puasa Intermiten Cegah Penyakit Alzheimer?

Diet puasa tunjukkan hubungan dengan manfaat kesehatan, termasuk regenerasi sel.

Rep: Santi Sopia/ Red: Friska Yolandha
Penyakit alzheimer.
Foto: AP
Penyakit alzheimer.

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Pola makan atau diet yang meniru cara berpuasa tampaknya mengurangi tanda-tanda penyakit Alzheimer, menurut sebuah studi baru yang inovatif menggunakan tikus. Para peneliti dari USC Leonard Davis School of Gerontology mengatakan pola makan yang dibatasi waktu, menurunkan tingkat dua ciri utama penyakit, beta amiloid dan protein tau hiperfosforilasi. Zat ini menumpuk di otak, menyebabkan gangguan pada fungsi kognitif hingga mengakibatkan demensia.

Tikus yang menjalani diet puasa, direkayasa secara genetik untuk mengembangkan Alzheimer. Tikus memiliki lebih sedikit peradangan otak dan berkinerja lebih baik pada tes kognitif daripada tikus lain yang diberi diet normal.

Baca Juga

Para peneliti pola makan meniru puasa (FMD) yang diperiksa tinggi lemak tak jenuh dan rendah kalori, protein, serta karbohidrat secara keseluruhan. Diet ini meniru dampak dari berpuasa hanya dengan air sambil tetap memberikan nutrisi yang dibutuhkan para pelaku diet.

Studi sebelumnya telah menemukan bahwa diet puasa menunjukkan hubungan dengan beberapa manfaat kesehatan, termasuk regenerasi sel induk, mengurangi efek samping kemoterapi, dan menurunkan risiko terkena kanker, diabetes, penyakit jantung, hingga penyakit terkait usia lainnya.

Bagaimana puasa intermiten mengubah otak?

Dalam studi ini, Profesor Valter Longo dan tim memeriksa tikus sehat dan dua kelompok tikus yang rentan demensia, E4FAD dan 3xTg. Para peneliti memberi makan tikus diet yang meniru puasa selama empat hingga lima hari setiap kali, dua kali sebulan.

Selama percobaan jangka panjang, tikus 3xTg menerima 30 siklus puasa selama 15 bulan. Dalam percobaan yang lebih singkat, tim memberi makan tikus 3xTg dan E4FAD di mana saja dari satu hingga 12 siklus PMK selama enam bulan.

“Dalam kedua percobaan, hasil mengungkapkan bahwa tikus yang berpartisipasi dalam siklus PMK menunjukkan penurunan yang nyata dalam beta amiloid. Zat ini membentuk plak lengket di otak. Protein Tau, yang membentuk kusut di otak, juga menurun di antara tikus yang berpuasa,” tulis laporan, seperti dikutip dari laman Studyfinds.org, Sabtu (1/10/2022).

Kelompok PMK juga memiliki tingkat peradangan otak yang lebih rendah dan mikroglia aktif yang lebih sedikit. Sel-sel kekebalan ini mencari dan menghancurkan virus dan sel-sel yang rusak di seluruh otak.

Tikus yang sedang diet bahkan memiliki tingkat stres oksidatif yang lebih rendah, di mana menurut para peneliti berperan dalam timbulnya Alzheimer. Stres oksidatif, yang berkembang karena ketidakseimbangan antara produksi dan akumulasi spesies reaktif oksigen (ROS), merusak neuron dan menyebabkan lebih banyak amiloid menumpuk di otak.

Secara khusus, Longo mengatakan radikal bebas "superoksida" memainkan peran kunci dalam menyebabkan kerusakan pada model tikus Alzheimer.

Tikus yang dibuat berpuasa menunjukkan penurunan kognitif yang lebih sedikit daripada tikus dengan diet standar. Tikus yang berpuasa, tampil lebih baik selama tes labirin dibandingkan dengan tikus Alzheimer pada diet standar dan hampir menyamai kinerja tikus sehat.

Tes sedang berlangsung di antara pasien manusia

Longo dan tim juga meninjau data dari uji klinis Fase 1 kecil yang memeriksa diet puasa pada pasien manusia dengan gangguan kognitif ringan atau Alzheimer. Sebanyak 40 pasien dinyatakan sehat dan berpartisipasi dalam PMK lima hari, sebulan sekali, hanya mengganti makan siang maupun makan malam dengan pasta atau nasi selama lima hari.

Data mengungkapkan bahwa puasa adalah pilihan yang aman bagi manusia yang mengalami penurunan kognitif. Tes lebih lanjut berharap untuk mengkonfirmasi hasil menjanjikan yang terlihat di antara tikus. Studi ini diterbitkan dalam jurnal Cell Reports. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement