Rabu 05 Oct 2022 11:33 WIB

Rizky Billar dan Lesti Kejora, Bara Rumah Tangga Itu Bernama KDRT

Pelaku kekerasan terhadap perempuan kebanyakan dari lingkungan terdekat, yaitu suami.

Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Oleh : Qommarria Rostanti, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Publik dihebohkan dengan kabar dugaan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pasangan selebritas Rizky Billar dan Lesti Kejora. Salah satu yang membuat kaget karena pasangan yang menikah pada 2021 ini kerap menunjukkan keharmonisannya di depan layar, baik itu di layar televisi maupun di akun media sosial masing-masing.

Dalam tulisan ini, saya tidak hendak membahas kemelut rumah tangga Leslar (sebutan untuk Lesti dan Billar). Namun, saya ingin sedikit mengulas soal KDRT secara umum.

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi tentang definisi KDRT. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa KDRT tidak hanya bisa dialami oleh perempuan, tapi juga laki-laki, meskipun dari banyak kasus, yang menjadi korban adalah perempuan/istri. KDRT tidak melulu “diukur” dari ada atau tidaknya luka fisik berupa lebam, luka, dan darah. Kata-kata kasar hingga penelantaran/pengabaian terhadap hak istri juga termasuk dalam KDRT.

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada 2020 terdapat 8.686 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dicatatkan dalam Simfoni PPA. Total korban mencapai 8.763 perempuan. Satu kasus kekerasan bisa menimbulkan korban lebih dari satu orang.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan memiliki karakteristik cukup beragam. Menurut kelompok umur, pada 2020, perempuan yang menjadi korban kekerasan paling banyak berumur antara 25–44 tahun, yaitu sebesar 61,62 persen; kemudian kelompok umur 18–24 tahun (25,48 persen); kelompok umur 45–49 tahun (11,7 persen); dan kekerasan terhadap lansia paling sedikit yang terlaporkan yaitu sekitar 1,2 persen. Mereka sebagian besar berpendidikan SMA (45,48 persen) dan perguruan tinggi (20,06 persen). Perempuan yang bekerja maupun yang tidak bekerja sama-sama rentan mengalami kekerasan.

Dilihat dari tempat kejadiannya, kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di dalam rumah tangga hingga mencapai 75 persen. Miris memang. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman justru menjadi tempat di mana perempuan/istri mengalami “kesakitan”.

Kekerasan fisik dan psikis merupakan jenis kekerasan yang paling banyak dialami perempuan pada 2020. Kekerasan seksual dan penelantaran juga banyak dialami perempuan.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik pada 2020 mencapai 4.693 korban, sedangkan kekerasan psikis mencapai 3.495 korban, disusul kekerasan penelantaran sebanyak 1.305 korban, dan seksual sebanyak 1.183 korban.

Pada 2020, pelaku kekerasan terhadap perempuan yang dicatatkan sebanyak 7.533 orang. Lebih dari separuhnya merupakan suami dari korban (4.564 orang). Sementara itu, 772 orang adalah pacar/teman korban.

Pelaku kekerasan terhadap perempuan kebanyakan berasal dari lingkungan terdekatnya sendiri, yaitu suaminya. Posisi korban yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga semakin menguatkan relasi kuasa suami dalam keluarga sehingga dia merasa “boleh” untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya. Ketergantungan status sosial atau ekonomi oleh istri membuat posisi perempuan menjadi pihak yang dirugikan.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA (Ditjen Badilag MA), KDRT ada di posisi keempat penyebab perceraian terbesar di Indonesia pada 2021. Di posisi pertama, ada perselisihan dan pertengkaran 36 persen (176.683 perkara); faktor ekonomi (tidak memberi nafkah atau tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan itu 14 persen (71.194 perkara); meninggalkan kediaman tempat bersama 7 persen (34.671 perkara); dan kekerasan dalam rumah tangga 0,6 persen (3.271); lain-lain sisanya (198.951 perkara).

Saat mengetahui seseorang yang kita kenal (entah itu teman atau sanak keluarga) mengalami KDRT, satu pertanyaan yang sering muncul adalah: “Kenapa tidak langsung berpisah begitu mengalami KDRT pertama kali?” atau “Kok bisa menikah dengan laki-laki seperti itu?”

Ada banyak alasan mengapa korban atau penyintas KDRT terkesan lamban mengambil tindakan atau justru tetap bertahan dan tak mampu pergi dari hubungan beracun itu. Salah satu alasannya karena takut.

Korban diserang secara fisik dan psikis. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilansir laman The Conversation pada Februari, pelaku KDRT biasanya melakukan kontrol terhadap korban dengan membatasi akses ke keluarga dan teman, serta finansial. Pelaku mengisolasi korban dan mempersulitnya untuk melawan.

Korban mengalami kecemasan yang konstan (yang oleh para psikolog disebut sebagai keadaan pengepungan) bahwa mereka tidak cukup memoderasi perilaku mereka untuk menghindari "bencana". Ketika pelaku merampas kendali atas keuangan korban, mereka sering dibiarkan tanpa keterampilan yang dibutuhkan untuk menghidupi diri mereka sendiri. Hal ini biasanya terjadi kepada istri yang tidak memiliki penghasilan sendiri.

Bagi korban yang telah memiliki anak, hambatan untuk mengakhiri pernikahan tersebut dapat tumpang tindih. Pelecehan ekonomi sering kali membuat korban menjadi tidak percaya diri untuk berpisah dari pelaku yang selama ini menopang kondisi finansialnya.

Korban khawatir tidak mampu menghidupi diri dan buah hati. Jika bercerai, korban juga dibayang-bayangi rasa bersalah kepada anak karena telah menjadikannya anak broken home. Korban merasa tak mengapa mengorbankam diri asal anak-anak tidak kehilangan ayahnya.

Seandainya pun korban KDRT berhasil keluar dari hubungan tersebut, trauma yang dirasakan tak lantas hilang. Kebanyakan penyintas merasa malu karena telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka khawatir dengan reaksi di lingkungan sekitar, sebab hingga kini masih ada anggapan bahwa “Tidak mungkin suami melakukan KDRT kalau tak ada perbuatan istri yang memicunya.”

Pria yang melakukan kekerasan cenderung percaya bahwa korban layak mendapatkan perlakuan itu. Ketidakmampuan korban sering dianggap sebagai penyebab utama dari perbuatan tersebut.

Penyintas KDRT cemas akan diperlakukan berbeda sebagai imbas dari anggapan tersebut. Bisa jadi, penyintas juga khawatir akan mengecewakan orang tuanya.

Hal lain yang menjadi alasan kuat seseorang tetap bertahan dalam hubungan pernikahan beracun adalah cinta. Cinta yang dirasakan secara “membabi-buta” membuat mereka tidak bisa pergi, atau mengapa mereka pergi kemudian kembali.

Ini mungkin menjadi salah satu alasan tersulit untuk dipahami. Penelitian menunjukkan, para korban kekerasan sendiri menjadi frustrasi karena cinta dan perhatian yang dirasakannya terhadap pelaku. Rasa peduli mereka terhadap pelaku membuat mereka terjerat.

Sebaliknya, pelaku kekerasan menjadi "cerdik dan terampil" dalam memanipulasi perasaan cinta si korban. Pelaku akan menggunakan perasaan peduli dan perhatian si korban untuk mencegah mereka pergi. Misalnya, dengan membuat ancaman untuk menyakiti atau bunuh diri jika korban berniat meninggalkannya. Pelaku mengetahui hal tersebut dapat membuat korban tertekan dan merasa bersalah (walaupun si korban sebenarnya tidak melakukan kesalahan apa pun).

Sering kali korban adalah satu-satunya orang yang melihat sisi gelap pelaku. Tak jarang, orang lain terkejut dan tidak percaya bahwa pelaku mampu berbuat kekerasan. Akibatnya, korban sering merasa bahwa tidak ada orang yang memercayainya.

Jika ada seseorang yang Anda kenal bercerita tentang derita KDRT yang menimpanya, jangan pandang sebelah mata. Setop menghakiminya, apalagi justru menuduhnya sebagai pemantik bara rumah tangga tersebut.

Cobalah memercayainya. Bagi seorang korban KDRT, memiliki seseorang yang mengetahui kebenaran dan mempercayainya dapat membawa harapan dan kelegaan.

Tak ada salahnya bagi korban KDRT untuk meminta bantuan dari psikolog atau psikiater. Jika KDRT sudah masuk dalam ranah penganiayaan, sebaiknya hubungi pihak kepolisian.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement