REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak tragedi Kanjuruhan bisa terjadi di berbagai aspek. Salah satunya mengenai status PSSI sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA, tahun depan.
Koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali menilai Indonesia terancam gagal menyelanggarakan hajatan tersebut. Pasalnya, ini merupakan peristiwa yang terjadi dalam arena pertandingan. Semua menunggu sikap FIFA nantinya.
"Kalau kemudian, kasus ini menjadi perhatian khusus FIFA, karena terjadi di lapangan dan melibatkan suporter, dan mengorbankan nyawa yang sangat banyak. Artinya FIFA bisa melihat PSSI tidak siap menjalankan tugas sebagai tuan rumah," kata Akmal dalam pesan singkat kepada Republika, Ahad (2/10).
Ratusan orang meninggal dunia selepas menonton partai Liga 1 Indonesia antara Arema FC vs Persebaya, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) malam WIB. Tuan rumah kalah 2-3 dari Bajul Ijo. Lantaran kecewa, suporter Singo Edan masuk ke arena pertandingan. Setelahnya terjadi kekacauan yang sulit diredam pihak keamanan.
"Misalnya di pertandingan U-20 (timnas), ada kasus serupa terjadi dalam hal penanganan suporter, maupun hal-hal terkait keselamatan dan kenyamanan (itu bagian dari tinjauan FIFA tentang kinerja PSSI sebagai penyelanggara)," ujar Akmal.
Ia memastikan, apa yang terjadi bukan ketegangan antara penggemar Arema dan Persebaya. Dalam hal ini, Bonek dengan Aremania. Pasalnya sudah disepakati dan disampaikan oleh polisi, bahwa penggemar tim tamu tidak hadir di stadion.
"Artinya, tragedi di Kanjuruhan bukan soal rivaliras, tapi soal fanatisme sempit yang kebablasan, yang membuat banyak korban meninggal," ujar Akmal.
Ia melihat banyak terjadi pelanggaran sehubungan dengan kejadian itu. Baik dari aspek prosedural, maupun dari sisi regulasi statuta FIFA.
Ia menjelaskan, secara prosedur, Panitia Pelaksana (Panpel) mencetak tiket pertandingan sampai 45 ribu lembar, Itu melebihi kapasitas arena. Apalagi setelah berkoordinasi dengan pihak keamanan, oleh Polisi, Panpel laga tersebut hanya diperbolehkan mencetak 25 ribu tiket.
Kemudian terkait dengan pelanggaran regulasi statuta FIFA. Pasal 19 B mengatur senjata api dan gas air mata tidak boleh dipakai polisi saat mengamankan pertandingan di stadion.
Dalam catatannya, Akmal menilai apa yang terjadi di Kanjuruhan merupakan tragedi terdahsyat di dunia sepak bola. Jumlah korbannya melebihi tragedi Heysel dan Hillsborough di Eropa.