REPUBLIKA.CO.ID, GIANYAR -- Cadangan devisa Indonesia tetap kuat dan terjaga meski digunakan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Wahyu Agung Nugroho menyampaikan, strategi triple intervention menjadi senjata yang cukup ampuh menahan pelemahan Rupiah berlebihan.
"Sejak 2018, kita punya instrumen intervensi Rupiah baru yakni DNDF yang esensinya bisa menjaga cadangan devisa kita," katanya dalam Media Gathering Bank Indonesia di Ubud, Bali, pekan lalu.
Secara umum, langkah-langkah stabilisasi yang dilakukan termasuk intervensi di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). Sementara intervensi di pasar spot mengurangi cadangan devisa secara langsung, tidak demikian dengan DNDF.
Instrumen ini juga menjaga ekspektasi di pasar valas yang menunjukan persepsi pasar terhadap Rupiah kedepannya. Ia mengatakan, ekspektasi pasar sangat berpengaruh kuat di pasar spot. Sementara di pasar DNDF ekspektasi bisa lebih terjangkau.
"Posisi cadangan devisa kita memang berkurang untuk stabilisasi rupiah, tapi tidak karena untuk itu saja ada beberapa komponen lainnya kemarin seperti pembayaran utang luar negeri dan lain-lain," katanya.
Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2022 tercatat sebesar 132,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.974,6 triliun, stabil dari posisi pada akhir Juli 2022 yang juga sebesar 132,2 miliar dolar AS. Ia optimistis cadangan devisa juga akan menguat lagi karena pemerintah telah mengeluarkan global bond.
Penawarannya yang oversubscribe menunjukkan bahwa pasar masih percaya pada fundamental ekonomi Indonesia. Perkembangan nilai tukar tetap terjaga ditopang oleh pasokan valuta asing (valas) domestik, termasuk karena neraca pembayaran Indonesia selalu surplus.
BI juga menambah aksi dengan operation twist untuk menjaga yield surat berharga jangka pendek tetap menarik investor sehingga aliran valas terjaga. Operation twist juga dilakukan untuk menjaga yield SBN jangka panjang tidak naik terlalu tinggi.
"Secara fundamental pasokan valas itu oke, lebih besar dari capital outflow, ini akan topang rupiah dan dukung cadangan devisa juga, jadi kita cukup confident untuk rupiah ini," katanya.
Nilai tukar pada 30 September 2022 terdepresiasi 2,24 persen (ptp) dibandingkan dengan akhir Agustus 2022 dan terdepresiasi 6,40 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Menurutnya, ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 8,65 persen, Malaysia 10,16 persen, dan Thailand 11,36 persen.