REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Head of Education Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Latasha Safira menilai menghilangnya mata pelajaran Bahasa Inggris dan bahasa asing dalam revisi Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak sejalan dengan globalisasi.
“Bahasa Inggris merupakan salah satu skill atau keahlian yang urgensinya semakin tinggi dari hari ke hari. Tidak hanya untuk bisa bersaing secara global, tetapi juga dalam tingkat nasional,” tutur dia. Ia menyebut ketidakjelasan kewajiban untuk mengajarkan Bahasa Inggris dalam revisi UU Sisdiknas menghilangkan acuan resmi bagi sekolah untuk mengajarkan mata pelajaran yang satu ini dan bahasa asing lainnya.
Latasha menambahkan, selain keterampilan digital, Bahasa Inggris merupakan keterampilan yang terbilang dasar yang dibutuhkan hampir semua institusi yang membutuhkan tenaga kerja. Hal ini sangat relevan mengingat semakin dinamisnya lanskap ekonomi yang membuka peluang untuk memperluas pasar.
Perusahaan yang beroperasi di Indonesia, baik lokal maupun multinasional, semakin memperluas operasi dan layanan mereka hingga ke luar negeri. Hal ini membuat penggunaan Bahasa Inggris semakin tidak bisa dihindari.
Laporan dari Cambridge English (2016) menyatakan, untuk peran-peran tertentu, para perekrut atau hiring managers akan cenderung mempekerjakan kandidat yang memiliki kompetensi Bahasa Inggris yang lebih tinggi.
Penelitian CIPS juga mencatat bahwa sebanyak 55 persen pengusaha Indonesia menawarkan paket yang lebih baik kepada pelamar dengan kemampuan bahasa Inggris yang baik, yang mencakup kenaikan gaji dan kemajuan karir yang lebih cepat.
Penelitian yang dilakukan CIPS juga menemukan bahwa salah satu tantangan untuk mengembangan kompetensi Bahasa Inggris siswa SMK berasal dari profisiensi siswa saat mereka menjejak tingkat SMK.
Oleh sebab itu, Latasha juga menyebut, penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris akan sangat berdampak negatif terhadap kemampuan kerja siswa, terutama yang sedang duduk di SMK.
Menurut guru-guru Bahasa Inggris, dalam tiga tahun SMK, guru menghabiskan sebagian besar waktu mengajar ulang bahan dasar Bahasa Inggris yang seharusnya tercakup di tingkat sekolah dasar. Oleh sebab itu, siswa SMK tidak dapat kesempatan untuk mengembangkan kompetensi Bahasa Inggris sesuai dengan kebutuhan industri masing-masing pada saat mereka lulus.
Lulusan SMK adalah mereka yang seharusnya berada dalam posisi yang paling siap untuk bekerja. Penguasaan bahasa asing, terutama yang berhubungan dengan industri yang mereka kuasai, akan sangat membantu terserapnya lulusan SMK ke dunia kerja / industri.
Hal ini juga pada akhirnya akan membantu meningkatkan kualitas lulusan SMK dan memperkuat kualitas sumber daya lokal, terutama saat Indonesia menuju bonus demografi, dimana jumlah populasi produktif (yang berumur 15-64 tahun) akan melewati populasi non-produktif (dibawah umur 15 dan diatas umur 64).
Industry 4.0, lanjutnya, hanya merupakan salah satu konteks yang seharusnya bisa memperkuat urgensi penguasaan bahasa asing dan keterampilan digital siswa Indonesia.
Pencanangan Industry 4.0 oleh Presiden Joko Widodo harus direspon dengan pemahaman yang komprehensif. Tidak cukup hanya memastikan kesiapan industrinya, kesiapan sumber daya manusianya juga perlu dipastikan.
“Kurikulum perlu responsif dengan dinamika pembangunan karena kita ingin mempersiapkan sumber daya yang berdaya saing,” jelasnya.
Revisi UU Sisdiknas idealnya tetap menyebut “Bahasa” sebagai muatan wajib, seperti halnya pada UU nomor 20/2003, sebagai acuan resmi memasukkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum di Sekolah Menengah.