REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut, ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden membuat demokrasi Indonesia mudah dibajak oleh oligakri alias segelintir orang berkuasa. Akibatnya, penentuan presiden tak lagi sepenuhnya di tangan rakyat.
"Presidential threshold itu, selalu saya katakan dari dulu, membuat demokrasi kita ini sangat sempit dan sangat prosedural dan mudah di-capture oleh oligarki," kata Fadli dalam diskusi bertajuk 'Dilema Pilpres 2024: Presidential Threshold dan Syarat Minimal Usia Capres-Cawapres'.
Untuk diketahui, presidential threshold diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu menyatakan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa dilakukan jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Menurut Fadli, ketentuan soal presidential threshold ini seperti membiarkan para elite politik menyeleksi dan menentukan calon presiden (capres) terlebih dahulu. Setelah ditentukan oleh elite, barulah capres disuguhkan kepada rakyat saat pemilu.
"Jadi sejak awal sudah ada babak penyisihan. Babak penyisihannya itu adalah, misalnya, dipatok dua paket atau tiga paket (capres-cawapres). Padahal bisa lebih banyak lagi," ujar anggota Komisi I DPR RI itu.
Baginya, parpol memang punya otoritas menentukan capres yang hendak diusung dalam pemilu, karena memang begitu fungsinya dalam UUD 1945. Hanya saja penentuan capres oleh partai ini jadi bermasalah ketika dibatasi oleh angka presidential threshold.
"Pembatasannya ini yang tidak fair. Ini yang kemudian membuat kita tidak mempunyai calon-calon terbaik anak bangsa," ujarnya.
"Calon-calon terbaik itu bisa disisihkan karena bisa dianggap tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan yang besar," imbuhnya.
Karena itu, ujar Fadli, partainya menolak pengesahan UU Pemilu pada 2017 lalu. Kini pun, lanjut dia, Partai Gerindra secara prinsip masih menentang ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu.
Kendati begitu, Fadli justru mendorong masyarakat untuk menggugat ketentuan ambang batas ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Presidential threshold ini menurut saya menjadi PR yang sangat penting bagi demokrasi kita, sehingga demokrasi kita itu tidak hanya menjadi demokrasi prosedural dan seolah-olah konstitusional, tapi seharusnya lebih substansial," paparnya.
Sebagai informasi, ketentuan presidential threshold sudah digugat ke MK hingga belasan kali. Terbaru, MK dalam sidang putusannya pada Kamis (29/9), menolak gugatan yang dilayangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Alasan MK menolak gugatan PKS dan belasan gugatan lainnya sama, yakni karena MK tak punya wewenang. MK menyebut ketentuan presidential threshold adalah kebijakan terbuka (open legal policy) alias kebijakan yang pengaturannya merupakan tanggung jawab pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden.