Senin 03 Oct 2022 19:04 WIB

Korlap Aremania: Kami Bukan Maling Pak, Kok Dipukuli

Ghozali meminta perintah penembakan gas air mata diusut tuntas.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Ilham Tirta
Seorang penggemar sepak bola memasuki lapangan saat petugas polisi berjaga-jaga selama kerusuhan setelah pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, 01 Oktober 2022 (dikeluarkan pada 02 Oktober 2022). Sedikitnya 127 orang termasuk polisi tewas setelah suporter sepak bola Indonesia memasuki lapangan yang menyebabkan kepanikan dan injak-injak.
Foto: EPA-EFE/H. PRABOWO
Seorang penggemar sepak bola memasuki lapangan saat petugas polisi berjaga-jaga selama kerusuhan setelah pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, 01 Oktober 2022 (dikeluarkan pada 02 Oktober 2022). Sedikitnya 127 orang termasuk polisi tewas setelah suporter sepak bola Indonesia memasuki lapangan yang menyebabkan kepanikan dan injak-injak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duka tragedi Kanjuruhan masih menyelimuti hati masyarakat Indonesia. Sebanyak 125 nyawa melayang dan ratusan lainnya harus mendapat perawatan setelah kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) malam WIB.

Koordinator Lapangan (Korlap) Aremania, Achmad Ghozali mengutuk keras tindakan yang dilakukan aparat terhadap suporter Arema dalam insiden tersebut. Pria berusia 48 tahun itu meminta kasus itu diusut tuntas hingga terdapat tersangka yang menyebabkan kematian ratusan nyawa.

Baca Juga

"Yang memerintah ditembakannya gas air mata harus bertanggung jawab. Tidak mungkin tidak ada yang memerintah. Usut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya," kata Ghozali dalam keterangannya, Senin (3/10/2022).

Pria yang telah menjadi suporter Arema sejak 35 tahun itu mengaku penggunaan gas air mata bukan kali pertama dialaminya. Ghozali mengaku pernah beberapa kali mengalami hal serupa selama ia menonton pertandingan Arema. Salah satunya saat pertandingan melawan Persebaya di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari pada 2007.

"Ya itu (gas air mata) harusnya tidak boleh. Polisi harus belajar dari undang-undang sepak bola, dalam hal ini FIFA," katanya.

FIFA melarang penggunaan gas air mata yang tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pasal 19 poin b berbunyi: No firearms or "crowd control gas" shall be carried or used'. Selain itu, dia juga menyayangkan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap para suporter.

Saat Tragedi Kanjuruhan, ia mengaku berada di tribun VIP bagian selatan. Ia melihat dengan jelas peristiwa di lapangan setelah pertandingan usai. Saat itu, ada Aremania yang turun ke lapangan, tapi mereka sebenarnya tidak untuk kisruh karena pemain Persebaya sudah masuk ruang ganti semua.

Aremania, kata dia, hanya ingin menyampaikan protes dan memberi semangat kepada para pemain Arema FC. Menurutnya, para aparat salah tafsir dan salah mengartikan.

Mereka, kata dia, menyangka Aremania mau menyerang mereka. Aparat kemudian menembakan gas air mata. Juga ada yang dipukul dan ditendang selama penertiban oleh aparat. "Kita bukan maling, Pak, kok sampai dipukul dan ditendang," ujarnya.

"Yang paling parah tentu saja penembakan gas air mata itu, yang ditembakan langsung pada kerumunan suporter yang berada di atas tribun. Seharusnya aparat lebih persuasif, tidak main langsung menembakan gas air mata," kata dia.

"Kalau kepolisian menyebut itu Protap-nya, harus tahu tempat lah, ini kan di dalam stadion masa dikasih gas air mata, kalau di jalan di Monas atau di ruang terbuka enggak masalah," kata Ghozali.

Ghozali juga berusaha meluruskan informasi yang beredar di masyarakat. Dia memastikan informasi yang menyebut Aremania menyerang aparat sama sekali tidak benar. "Juga tidak benar suporter sedang mabuk. Saya berharap media meluruskan informasi yang simpang siur ini. Kami meminta semuanya diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Kami sangat menyesalkan kejadian ini," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement