REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komnas Perempuan mendata kerentanan perempuan berkategori lanjut usia (lansia) terhadap kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan menekankan pentingnya perhatian kepada mereka karena kekerasan tetap bisa terjadi di lingkungan rumah.
Tercatat ada 127 pengaduan perempuan lansia yang mengalami kekerasan. Rinciannya di ranah domestik (100 orang), ranah publik (24 orang) dan ranah negara (2 orang). Sedangkan pengaduan ke lembaga layanan mencatat 47 perempuan lansia korban kekerasan, terdiri dari 42 orang di ranah domestik, 5 orang di ranah publik.
"Data ini menunjukkan bahwa bagi perempuan lansia, rumah tidak selalu menjadi ruang aman dalam kehidupannya," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi di Jakarta, Senin (3/10).
Berdasarkan Kementerian Sosial RI, mayoritas lansia tinggal bersama keluarga atau bersama tiga generasi dalam satu rumah. Rinciannya, 40,64 lansia tinggal bersama tiga generasi dalam satu rumah, 27,3 persen tinggal bersama keluarga, 20,03 persen tinggal bersama pasangan, kemudian 9,38 tinggal sendiri.
Komnas Perempuan menemukan selain terjadi di ranah rumah tangga, kekerasan dapat terjadi di ranah publik dan negara. Bentuk kekerasan yang dialami diantaranya fisik, psikis, seksual dan ekonomi; baik penelantaran, eksploitasi finansial dan perampasan aset atau properti.
"Kemunduran kemampuan fisik dan psikis menyebabkan lansia tergantung terhadap keluarga untuk merawatnya. Kondisi ini berkelindan dengan bentuk diskriminasi lainnya seperti diskriminasi gender dan kondisi disabilitas. Perempuan lansia penyandang disabilitas menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan kekerasan," ujar Aminah.
Komnas Perempuan memandang, terdapat tantangan-tantangan berlanjut terkait perempuan lansia pada proses pemulihan pasca pandemi Covid-19 di Indonesia, yakni memperkuat daya lenting perempuan lansia serta hidup bebas dari diskriminasi dan kekerasan. Pemenuhan hak-hak lansia sebagaimana dimandatkan UU Kesejahteraan lanjut Usia dapat memperkuat daya lenting mereka untuk dapat hidup mandiri, mewujudkan potensi-potensi pribadinya dan bermartabat serta memastikan hidup bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Di sisi lain, UU No 13. Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang diperbarui dari UU sebelumnya No 4 Tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo, pada Bab II tentang Hak dan Kewajiban Pasal 5 dengan tegas dinyatakan bahwa Lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan Pemerintah mendokumentasikan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan lansia untuk menemu-kenali pola, pelaku dan bentuk kekerasannya. Kemudian Pemerintah didorong membangun sistem administrasi khusus, mudah diakses dan dipergunakan oleh lansia agar tidak kehilangan hak-haknya karena digitalisasi administrasi.
"Mendorong DPR dan Pemerintah agar meninjau-ulang UU Kesejahteraan Lansia seturut tantangan-tantangan era digital khususnya kemiskinan dengan perspektif gender dan lansia," ucap Aminah.
Diketahui, hari Lansia Internasional diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Pada tahun ini, Komnas Perempuan merekomendasikan pentingnya baik negara maupun masyarakat memberikan perhatian khusus, terutama pada perempuan lansia agar bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Peringatan ini ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 46/106 pada 14 Desember 1990. WHO menetapkan bahwa lansia adalah warga yang telah berusia 60 tahun ke atas yang juga diadopsi Undang-Undang No, 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.