Selasa 04 Oct 2022 07:20 WIB

Mengenal Diri

Selain mengenal diri, manusia juga harus mengenal Allah.

Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsul Yakin

Selain mengenal diri, manusia juga harus mengenal Allah. Orang yang mengenal Allah disebut arif billah. Kalau tidak mengenal dirinya, manusia akan sangat sulit mengenal Tuhannya. Ada ungkapan ulama sufi yang kerap dikatakan sebagai sabda Nabi, "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia benar-benar telah mengenal Tuhannya".

Baca Juga

Selain itu, manusia juga harus mengenal karakter hewan, dan karakter malaikat lengkap dengan persamaan dan perbedaannya. 

Menurut Imam al-Ghazali dalam Kimia al-Sa'adah, mengenal diri dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengenal sisi lahir seperti tangan, kaki, kepala, dan organ dalam badan. Kedua, mengenal sisi batin. Sisi batin inilah yang ketika marah berbuah permusuhan, ketika datang birahi harus bersetubuh, ketika lapar harus makan, dan ketika dahaga harus minum. Dalam konteks lahir dan batin seperti ini, hewan sama dengan manusia. Inilah pengenalan diri yang pertama. 

Pengenalan diri yang kedua, menurut al-Ghazali, manusia harus mencecar dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis: apa dan siapa kamu? Dari mana berasal dan akan kembali ke mana? Untuk apa diciptakan? Dengan apa kamu bahagia? Dengan apa pula kamu menderita? Menjawab semua pertanyaan ini diperlukan untuk membedakan manusia dengan hewan dan menyamakan manusia dengan karakter malaikat. 

Tegasnya manusia, hewan, dan malaikat memiliki kebahagiaan sendiri-sendiri. Bagi al-Ghazali, kebahagiaan hewan terletak pada terpenuhinya makan, minum, dan hasyrat birahi. Pada sisi lahir, manusia memang sama dengan hewan, tetapi kebahagiaan manusia bukanlah terletak pada itu semata. Kalau ingin bahagia seperti hewan, manusia dengan akal dan kesempurnaan fisiknya dapat memenuhi semuanya. Namun, sisi batin manusia butuh juga kebahagiaan.

Maksudnya, manusia butuh kebahagian seperti kebahagiaan malaikat, yakni musyahadah atau menyaksikan ke-Maha-Indah-an kehadiran Allah. Namun kecenderungan manusia lebih kepada kebahagiaan yang sama seperti hewan, khususnya bagi yang tak mampu mengenali dirinya dan Tuhannya. 

Diceritakan oleh Syaikh Hamami Zadah dalam Tafsir Surah Yasin, bahwa para penghuni surga terus saja diberikan kenikmatan yang bersifat material-fisikal, seperti makanan, minuman, bidadari bermata jeli. Mereka menikmati semua anugerah Allah itu secara terus-menerus dalam waktu yang tak terbatas. Namun akhirnya, para penghuni surga berteriak bahwa yang mereka inginkan adalah ridha Allah. Allah paham maksud mereka, untuk itu Allah memberikan anugerah berupa musyahadah.

Jadi kenikmatan surga pada level pertama bersifat material-fisikal seperti yang diyakini Imam al-Ghazali dan pada level kedua bersifat immaterial-spiritual seperti diyakini oleh Ibnu Rusyd dan juga Imam al-Ghazali. Sebab Imam al-Ghazali meyakini surga itu bersifat material-fisikal dan immaterial-spiritual sekaligus. Namun tak demikian halnya dengan Ibnu Rusyd.

Dengan mengenal diri, manusia akan mengenal yang menciptakannya dan hakikat segala sesuatu. Pada tahap awal manusia tak bisa disangkal berkarakter hewan dengan kebahagiaan yang dirasakannya, namun dengan berjalannya usia, manusia harus melakukan perubahan mendasar dari berkarakter hewan kepada berkarakter malaikat. Perlu diingat, tak terbilang ulama dan orang saleh yang masih hidup di dunia, tapi sudah diberi anugerah musyahadah karena mengenal benar dirinya dan Tuhannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement