REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melakukan penguatan pembinaan ideologi Pancasila (PIP) kepada Jejaring Panca Mandala (JPM) Kalimantan Timur di Kota Samarinda, Kalimantan Timur pada 4-5 Oktober 2022, melalui acara bertemakan 'Sinergitas Membumikan Pancasila di Benua Etam'.
Direktur Pengkajian Materi BPIP, Aris Heru Utomo mengatakan seperti kata Bung Karno 'jas merah' atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah maka masyarakat jangan pernah meninggalkan sejarah Pancasila. Karena dengan mengetahui dan memahami sejarahnya, masyarakat dapat mengetahui secara detail dan benar tentang apa pemikiran para pendiri bangsa.
"Dan siapa saja yang menyampaikan gagasan tentang Pancasila, kapan dan di mana gagasan tentang Pancasila disampaikan serta bagaimana dampaknya bagi Indonesia," ujar Aris dalam keterangan di Jakarta, Rabu (5/10/2022). Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberikan materi bertajuk 'Pancasila: Historisitas, Konseptualitas, dan Aktualitas'.
"Dengan mengenal dan memahami sejarah bangsa Indonesia secara lebih baik, diharapkan rasa cinta dan semangat kebangsaan Indonesia akan semakin kuat, khususnya di kalangan generasi muda," ucap Aris menambahkan.
Menurut Aris, secara konseptual, nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri. Setiap nilai yang ada pada Pancasila dirumuskan berdasarkan kebudayaan, nilai, dan norma yang lahir dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, seluruh sila dalam Pancasila sejalan dengan nilai-nilai yang hidup serta dipegang oleh seluruh masyarakat Indonesia.
"Sebagai bukti bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri adalah terkait konsep demokrasi pada sila keempat. Demokrasi Indonesia bukan demokrasi menang-menangan, one man one vote, tetapi demokrasi yang melahirkan prinsip kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia mengutamakan permusyawaratan dan perwakilan," ucap Aris
Sejarah pun, menurut Aris, menunjukkan bagaimana para pemuda Indonesia peserta Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 mengutamakan permusyarawatan dalam pengambilan keputusan. "Mereka bermusyawarah terlebih dahulu, kemudian barulah menyepakati untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa Jawa meskipun peserta pertemuan saat itu mayoritas orang Jawa," kata Aris.