REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Lembaga penelitian ekonomi Jerman, Ifo Institute (Leibniz Institute for Economic Research at the University of Munich), mengatakan sejumlah perusahaan Jerman berencana menaikan harga mereka. Ifo menambahkan hal ini menandakan inflasi belum mereda.
Ifo mengatakan indeks ekspektasi harga pada beberapa bulan ke depan di bulan September bertahan pada 53,5 poin. Naik dari bulan Agustus yang 48,1 poin.
"Sayangnya, ini mungkin artinya gelombang inflasi belum mereda," kata ketua prediksi ekonomi ifo, Timo Wollmershaeuser, Rabu (5/10/2022).
Harga konsumen Jerman diselaraskan agar sebanding dengan data inflasi negara Uni Eropa lain (HICP), naik hingga 10,9 persen pada tahun ini di bulan September. Artinya inflasi tertinggi Jerman selama lebih dari seperempat abad.
Sejak akhir bulan September lalu perekonomian terbesar di Eropa itu mengirim sinyal resesi. Survei kepercayaan bisnis Ifo yang merupakan indikator utama perekonomian Jerman menunjukkan penurunan selama empat bulan berturut-turut.
Tingginya inflasi yang dipicu kenaikan harga gas alam menekan daya beli konsumen dan memberikan beban yang berat bagi bisnis. Indeks yang dikumpulkan Ifo institute turun dari bulan Agustus yang sebanyak 88,5 poin menjadi 84,3 poin pada September.
"Tingginya harga komoditas dan energi memberatkan permintaan dan menekan margin keuntungan," kata ekonom zona euro ING bank Carsten Brzeski.
"Perusahaan-perusahaan tidak dapat lagi membebankan biaya produksi yang tinggi ke konsumen dengan mudah seperti bulan-bulan awal tahun ini," tambahnya.
Pesanan perusahan menyusut sementara bisnis yang membutuhkan banyak energi seperti toko roti menghadapi tingginya biaya produksi. Sehingga mereka bertanya-tanya apakah dapat bertahan atau tidak.
Jerman sangat tergantung pada gas alam murah dari Rusia yang memotong pasokannya bahkan sebelum invasi ke Ukraina pada 24 Februari lalu. Gas dari Rusia biasanya digunakan sebagai bahan bakar penghangat ruangan, digunakan oleh pabrik dan pembangkit listrik.