REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Menteri Muda Prancis untuk Urusan Eropa Laurence Boone mengatakan, warga Rusia yang melarikan diri ke negaranya untuk menghindari wajib militer tidak akan memperoleh visa untuk tetap tinggal di Prancis. Kendati demikian, Prancis akan tetap mempertimbangkakn situasi dan risiko keamanan mereka.
“Kami memiliki kondisi terbatas di mana visa dapat diberikan. Kami akan memastikan jurnalis penentang, orang-orang yang melawan rezim, artis dan mahasiswa masih bisa datang ke sini, dan kami akan mengeluarkan visa berdasarkan kasus per kasus, dengan mempertimbangkan risiko keamanan,” kata Boone dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Franceinfo, Rabu (5/10/2022).
Ditanya apakah semua pembelot tentara Rusia akan disambut di tanah Eropa, dia mengatakan setiap kasus bakal dilihat secara individual. Dia pun menyebut prosedur untuk mendapatkan visa Schengen akan diperpanjang dari 15 hari menjadi 40 hari untuk keperluan penyelidikan terhadap orang yang meminta visa atau suaka politik.
“Kami ingin mempertahankan akses suaka politik di Eropa kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkannya dan untuk menghindari risiko keamanan,” katanya, seraya menambahkan bahwa beberapa negara yang lebih dekat dengan Rusia ingin sepenuhnya menutup perbatasan mereka untuk warga Rusia yang ingin kabur.
Pada 27 September lalu, badan perbatasan Uni Eropa, Frontex, mengungkapkan, warga Rusia yang memasuki wilayah mereka meningkat signifikan. "Selama sepekan terakhir, hampir 66 ribu warga Rusia memasuki Uni Eropa, lebih dari 30 persen dibandingkan pekan sebelumnya. Sebagian besar dari mereka tiba di Finlandia dan Estonia," kata Frontex dalam sebuah pernyataan.
Frontex mengungkapkan, selama empat hari terakhir saja, 30 ribu warga Rusia telah tiba di Finlandia. Menurut Frontex, mayoritas warga Rusia yang menyeberang ke Uni Eropa memiliki izin tinggal, visa, atau memiliki kewarganegaraan ganda.
“Frontex memperkirakan bahwa penyeberangan perbatasan ilegal kemungkinan akan meningkat jika Federasi Rusia memutuskan untuk menutup perbatasan untuk calon wajib militer,” kata Frontex seraya menambahkan bahwa dalam jangka panjang peningkatan tinggal ilegal oleh warga Rusia di Uni Eropa juga mungkin terjadi.
Pada 26 September lalu, Uni Eropa, yang beranggotakan 27 negara, mulai membahas tentang bagaimana memperlakukan wajib militer Rusia. Namun sejauh ini mereka belum menemukan kesepakatan.
Pada 21 September Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan tentang mobilisasi militer parsial di Rusia. “Kita berbicara tentang mobilisasi parsial, yaitu warga negara yang memenuhi syarat saat ini akan dikenakan wajib militer, dan mereka yang bertugas di angkatan bersenjata dengan spesifikasi militer tertentu serta pengalaman yang relevan," kata Putin dalam pidato pengumumannya.
Putin mengatakan, keputusan untuk mobilisasi parsial bertujuan untuk melindungi Rusia dan seluruh rakyatnya. "Ini untuk melindungi tanah air kita, kedaulatan dan integritas teritorialnya, guna memastikan keamanan rakyat kita dan orang-orang di wilayah yang dibebaskan," ucapnya.
Kata-kata "wilayah yang dibebaskan" yang disinggung Putin dalam pernyataannya mengacu pada wilayah Ukraina yang kini sudah berada di bawah kontrol pasukan Rusia. Konflik Rusia-Ukraina sudah berlangsung selama tujuh bulan. Belum ada tanda-tanda kedua negara akan terlibat dalam negosiasi perdamaian maupun gencatan senjata.