Kamis 06 Oct 2022 04:35 WIB

Taiwan akan Tanggapi Serius Serangan Militer China

Menteri Pertahanan Taiwan mengatakan sikap agresif China perlu ditanggapi serius.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng mengatakan, sikap agresif China perlu ditanggapi serius.
Foto: EPA-EFE/Daniel Ceng Shou Yi
Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng mengatakan, sikap agresif China perlu ditanggapi serius.

REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan akan menanggapi serangan pesawat tempur dan pesawat tak berawak China ke wilayah udaranya. Menanggapi pertanyaan dari legislator, Menteri Pertahanan Chiu Kuo-cheng mengatakan, sikap agresif China perlu ditanggapi serius.

"Kami awalnya mengatakan tidak akan melakukan serangan lebih dahulu, jika mereka tidak menyerang, karena (mereka) menembakkan proyektil atau rudal. Tapi situasinya jelas telah berubah," ujar Chiu.

Ketika ditanya oleh legislator Lo Chih-cheng dari Partai Progresif Demokratik yang berkuasa apakah serangan ke wilayah udara Taiwan oleh pesawat tempur China akan dihitung sebagai serangan pertama, Chiu mengiyakan. Taiwan sejauh ini menanggapi serangan China ke zona identifikasi pertahanan udaranya dengan mengeluarkan peringatan, mengacak jet, dan mengaktifkan pertahanan rudal anti-udara.

Meningkatnya frekuensi serangan China telah mendorong Taiwan untuk mengoptimalkan keunggulan geografisnya dalam melawan musuh yang jauh lebih kuat melalui perang asimetris. Salah satunya seperti penggunaan sistem senjata bergerak yang cocok untuk memukul mundur pasukan invasi.

Invasi Rusia ke Ukraina juga membawa fokus baru pada janji China untuk membawa Taiwan di bawah kendalinya. Sebagian besar orang Taiwan menolak gagasan untuk berada di bawah kendali sistem Komunis satu partai yang otoriter di China.  Kegagalan Rusia untuk mencapai tujuan militernya di Ukraina telah menjadi pukulan bagi mereka yang mengadvokasi serangan balik Taiwan terhadap upaya China dalam isolasi diplomatik, budaya dan ekonomi.

Taiwan terpisah dari daratan China pada 1949 ketika Komunis Mao Zedong memaksa Nasionalis Chiang Kai-shek untuk pindah melintasi Selat Taiwan seluas 180 kilometer. China tidak pernah meninggalkan ancamannya untuk menyerang dan memutuskan semua hubungan dengan pemerintah Taiwan setelah pemilihan Presiden pro-kemerdekaan Tsai Ing-wen pada 2016.

Wakil Menteri Ekonomi Taiwan, Chen Chern-chyi, mengatakan, pemerintah siap untuk memastikan pasokan makanan, energi dan barang-barang penting lainnya. Termasuk bahan penting untuk industri manufaktur berteknologi tinggi, jika terjadi agresi China.

“Kami punya sistem. Kami melakukan inventarisasi setiap bulan. Kami memastikan memiliki periode persediaan tertentu di Taiwan, termasuk makanan, termasuk pasokan penting, mineral, bahan kimia, dan energi tentu saja," kata Chen kepada anggota parlemen.

Chen mengatakan, Taiwan sangat tegas dalam menjaga rahasia dagang dan teknologi nasional utama. Taiwan juga memastikan bakat ilmiah utamanya tidak diburu oleh China. Selain itu, Taiwan memberlakukan kendali ekspor untuk memastikan produk Taiwan tidak dapat digunakan di militer China. Langkah-langkah ini terus diperbarui dengan berkonsultasi dengan negara-negara sekutu.

"Langkah-langkah itu, kami akan menerapkan dengan sangat tegas," kata Chen.

China meningkatkan latihan militernya dengan menembakkan rudal ke perairan dekat Taiwan dan mengirim pesawat tempur melintasi garis pemisah di Selat Taiwan. Latihan militer ini sebagai tanggapan atas kunjungan Ketua House of Representatif Amerika Serikat, Nancy Pelosi ke Taiwan pada Agustus lalu.

China menyangkal keberadaan garis tengah di Selat Taiwan. Cina juga menantang norma-norma yang telah ditetapkan dengan menembakkan rudal ke Taiwan ke zona ekonomi eksklusif Jepang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement