REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- KPK sudah memanggila dua kali Gubernur Papua Lukas Enemba. Namun, panggilan pada 12 dan 26 September 2022, diabaikan. Akademisi Uncen Papua Imbau Lukas Enembe Ikuti Jejak Nelson Mandela
JAYAPURA – Gubernur Papua Lukas Enembe, tersangka kasus korupsi telah dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dalam panggilan pada 12 dan 26 September 2022, Lukas Enembe tak kunjung penuhi panggilan KPK.
Dosen Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua, Laus Deo Calvin Rumayom menyarankan kepada KPK agar kasus yang menjerat Lukas dan kepala daerah di Papua ditangani secara khusus dan hati-hati. Hal itu mengingat mereka berada dalam komunitas masyarakat yang pernah mengalami trauma, yaitu pengalaman sakit hati dan tidak percaya kepada negara.
"Sehingga kalau terjadi kasus korupsi seperti ini, kita harus jelaskan kepada masyarakat, bahwa kasus ini tidak ada hubungannya dengan soal pelanggaran HAM, tapi ini adalah murni kasus penyalahgunaan kewenangan," Laus di Kota Jayapura, Papua, Kamis (6/10/2022).
Dalam siaran pers, Ketua Analisis Papua Strategis tersebut menjelaskan, kalau yang digaungkan, misalnya pengerahan aparah dengan menjemput paksa maka dampaknya masyarakat akan mempunyai kesimpulan sendiri-sendiri. Konsekuensinya, aparat yang dikerahkan untuk membantu KPK akan kesulitan membawa Lukas ke Jakarta.
Luas menyarankan, KPK tidak bisa menaik tangkap atau menahan Lukas, karena bisa memicu masalah keamanan. "Persoalan Gubernur Papua ini adalah persoalan kita bersama. Kita tidak boleh biarkan Bapa Lukas sendiri, tidak boleh biarkan Pemerintah Provinsi Papua ini sendiri, tidak boleh biarkan KPK bergerak sendiri, TNI-Polri bergerak sendiri," ujar Laus.
Untuk tujuan itu, Laus menginisiasi suatu gerakan dengan membentuk Tim Advokasi Independen bagi Gubernur Papua. Inisiasi yang dilakukannya dengan mengoleksi semua data, informasi untuk dikaji, diolah. Tim advokasi itu tidak memihak Lukas atau KPK, tetapi bekerja secara independen.
"Advokasi ini diperlukan, supaya jangan ada korban. Supaya jangan masyarakat kita tertipu, jangan masyarakat kita miskin dengan data. Sehingga dia bisa mengambil kesimpulan-kesimpulan yang kemudian berimplikasi pada gerakan perlawanan. Terkesan itu terjadi bukan saja karena mobilisasi tetapi karena masyarakat tidak punya pemahaman politik yang baik," kata Laus.