REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyebut, tren kenaikan harga beras mulai mengkhawatirkan. Kenaikan harga beras ini diperkirakan akan berlanjut hingga tiga bulan ke depan hingga puncaknya pada momen natal dan tahun baru.
Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri, mengatakan, rata-rata harga beras medium sudah berkisar di atas Rp 11 ribu per kg dari sebelumnya pada kisaran Rp 10.500 per kg. Ia menilai, kenaikan beras saat ini masih cukup kecil namun akan berbahaya jika tidak diantisipasi.
"(Kenaikannya) kecil, tapi kalau terus belanjut berbahaya. Kami prediksi kenaikan ini terus tiga bulan ke depan. Ini mengkhawatirkan dan akan ada kepanikan jika tidak ditangani serius," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (6/10/2022).
Di sisi lain, stok beras di Bulog yang tengah mengalami penurunan hingga di bawah 1 juta ton juga bisa berpengaruh pada psikologis pasar beras.
"Ikappi akan fokus melakukan pemantauan harga pangan di seluruh daerah. Bandan Pangan Nasional sudah meminta kita untuk membantu," ujarnya.
Perum Bulog meyakini cadangan beras pemerintah (CBP) akan segera bertambah hingga mencapai 1,2 juta ton pada November mendatang. Penambahan cadangan beras di Bulog menjadi fokus pemerintah saat ini untuk mengamankan pasokan dan stabilisasi harga secara nasional.
Tercatat saat ini total pasokan CBP yang tersimpan di gudang Bulog hanya 800 ribu ton. Pemerintah pun telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah agar Bulog dapat memiliki daya tawar saat menyerap produksi gabah atau beras dari petani.
Namun, kenaikan harga itu hanya sementara hingga 30 November 2022 mendatang. Dengan kata lain, Bulog hanya memiliki waktu sekitar dua bulan untuk dapat mengoptimalisasi penyerapan gabah dari petani.
"Kita pernah dalam waktu (singkat) itu seperti itu (menyerap dalam jumlah besar). Tapi tergantung kondisi pasar, yang penting kita jaga stabilitas harga," kata Awaluddin kepada Republika.co.id, Kamis (6/10/2022).
Dia menuturkan, Bulog saat ini harus menjaga stabilisasi harga beras di tingkat konsumen agar tidak terjadi efek bias yang berakibat fatal di sektor hulu. Pasalnya, jika terdapat gejolak harga beras di hilir, di sisi hulu bisa terjadi kepanikan dan banyak terjadi spekulasi harga.
"Kalau di hilir kita jaga stabilitasnya, maka di hulu juga akan stabil, karena pasar beras itu saling terkoneksi bahkan antar wilayah. Apalagi di Jakarta," ujarnya.