REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Menteri Sosial Tri Rismaharini meminta masyarakat tidak melakukan pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau penyandang disabilitas mental. Mantan Wali Kota Surabaya itu meminta kepada masyarakat melihat ataupun keluarga serta kerabat tidak sanggup menangani ODGJ untuk menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah atau Sentra Kemensos.
"Makanya tadi saya sampaikan kalau ada ODGJ (jangan dipasung), tolong komunikasi dengan Pemerintah Daerah atau ada kalau ada balai kami atau ke sentra kami," ucap Risma di Gedung Aneka Bhakti Sentra Terpadu Pangudi Luhur, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/10/2022).
Karena, sambung Risma, adanya pemasungan akan memperburuk kondisi fisik serta mental para ODGJ. Pemasungan, menurut Risma, tidak hanya berdampak buruk terhadap kondisi kejiwaan, namun juga kesehatan fisik.
"Karena pemasungan ya menurut saya malah justru akan memperburuk kondisi yang bersangkutan," tutur Risma.
Menurut Risma, pasien ODGJ juga memiliki hak untuk hidup serta mendapatkan pelayanan kesehatan. Sehingga, melakukan pemasungan kepada pasien ODGJ adalah mencabut hak asasi manusia.
"Sudah kalau memang itu serahkan kepada kami (Sentra Kemensos), kami akan mampu membantu untuk merawatnya," kata Risma.
"Silakan dilaporkan nanti kami tangani meskipun mungkin kayak kami di Kalimantan hanya punya satu di Banjar Baru. Kami akan lakukan penjemputan di sana. Seperti balai ini nangani beberapa wilayah di Jawa Barat," sambung Risma.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, drg. R. Vensya Sitohang M.Epid mengungkapkan masih banyaknya kasus pemasungan di Indonesia. Pada tri wulan kedua tahun 2022 sebanyak 4.304 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia hidup dengan cara dipasung oleh keluarga dan kerabatnya.
"Untuk pasung di Indonesia angka cukup tinggi, sebanyak 4.304 jiwa pada triwulan kedua 2022," kata dia di Jakarta, Rabu (5/10/2022).
Vensya mengungkapkan masih adanya stigma di masyarakat dan kurangnya informasi terkait pasien ODGJ, khususnya kepada para penderita skizofrenia yang dianggap meresahkan masyarakat. Akhirnya, sebagian besar kerabat atau keluarga lebih memilih untuk melakukan pemasungan dibanding membawa pasien ke fasilitas kesehatan.
Bahkan, seringkali juga terjadi pemasungan ulang yang dialami para ODGJ. Awalnya, para pasien ODGJ dibawa ke fasilitas kesehatan, setelah kondisi membaik karena rutin meminum obat dan terapi rutin, pasien dianggap sudah sembuh.
"Padahal pengobatan dan terapi harus berkelanjutan. Bila putus obat akan terjadi lagi pasung berulang (Karena kembali lagi pasien melukai diri atau orang lain)," terang Vensya.
"Jadi masalah pasung itu sebenarnya masalah sosial. Bukan karena dia ODGJ dipasung, banyak faktor lain, sehingga muncul pertanyaan kenapa tidak diantar ke Puskesmas dan diawasi minum obatnya, mungkin karena anggota keluarga tidak ada yang dedicated," sambungnya.
Oleh karenanya, edukasi berkelanjutan menghadapi ODGJ dari Puskesmas, kader di kelurahan hingga tingkat RT, RW sangatlah diperlukan untuk para keluarga dan kerabat. Diharapkan, pemasungan tidak lagi terjadi, keluarga dan kerabat pun mendampingi pasien ODGJ dengan membawanya ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang semestinya.
Berdasarkan data Kemenkes RI, total kasus pasung pada tahun 2019 sebanyak 4.989. Kemudian di tahun 2020 sebanyak 6.452. Sempat turun di tahun 2021 sebanyak 3.223. Namun menurut Vensya penurunan angka tersebut lantaran surveilans yang berkurang karena kondisi pandemi Covid-19.
"Pendataan jadi berkurang karena sebagian besar fokus ke Covid-19 karena pada triwulan kedua angkanya kembali naik lagi menjadi 4.304 jiwa," ujar dia.