REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Sadewa menyatakan adanya gap antara literasi dan inklusi keuangan masih menjadi tantangan bagi Indonesia untuk segera diperbaiki.
"Terdapat gap yang signifikan antara inklusi dengan literasi keuangan nasional," katanya dalam webinar di Jakarta, Kamis (6/10/2022).
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019 mencatat bahwa indeks inklusi keuangan nasional berada di level 76,19 persen sedangkan literasi keuangan pada level 38,03 persen.
Hal itu berarti tujuh dari 10 masyarakat Indonesia telah memiliki akses pada produk dan jasa keuangan namun hanya empat dari 10 orang yang memahami produk dan jasa keuangan. Apabila ditelaah lebih dalam berdasarkan wilayah provinsi, gap antara inklusi dan literasi keuangan mayoritas terjadi di luar Jawa.
Menurut Purbaya, ini menunjukkan tantangan atas literasi keuangan bukan hanya terkait gap dengan inklusi namun juga kelancaran arus informasi dan edukasi keuangan di berbagai wilayah di Indonesia.
Ia mengingatkan, pemahaman masyarakat yang terbatas atas produk keuangan akan menyebabkan timbulnya berbagai risiko seperti penipuan yang pada akhirnya berdampak buruk pada perekonomian. Terlebih lagi, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah yaitu 38,03 persen pada 2019 yang hanya sedikit meningkat dari 29,7 persen pada 2016 dan 21,84 persen pada 2013.
Sementara untuk tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia pada 2013 sebesar 59,74 persen dan telah meningkat menjadi 67,8 persen pada 2016 hingga akhirnya 76,19 persen pada 2019. "Tantangan sektor keuangan adalah terkait literasi keuangan yang masih rendah. Tantangan ini bersifat lebih struktural namun perlu menjadi perhatian kita bersama," tegasnya.