REPUBLIKA.CO.ID, NICOSIA -- Banyak negara melakukan pengalihan kembali ke batu bara dan bahan bakar fosil lainnya akibat perang Rusia di Ukraina. Pejabat senior di Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sonja Leighton-Kone mengatakan, mendengar kejutan energi yang diderita banyak negara tidak berarti tujuan peralihan cepat ke energi bersih tidak dapat dicapai.
"Kami memiliki alat, kami memiliki kemauan dan kami harus menemukan cara untuk berjalan dengan keseimbangan antara mengelola ancaman saat ini, tetapi tetap fokus pada tujuan jangka panjang yang kami miliki,” kata Leighton-Kone.
Leighton-Kone berbicara pada Konferensi Tingkat Menteri Lingkungan untuk Eropa ke-9 yang diadakan di Nicosia, ibu kota Siprus. Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa Olga Algayerova mengatakan, menunda jadwal untuk mencapai tujuan perubahan iklim tertentu setiap kali krisis energi muncul berarti tujuan tidak akan pernah tercapai.
"Kami tidak bisa menghubungkan semuanya dengan situasi yang kita lihat hari ini. Dan jika kita hanya memperpanjang dan memperpanjang tenggat waktu ... kita tidak pernah mencapai tujuan," ujar Algayerova.
Sebuah penilaian lingkungan PBB menemukan, negara-negara di kawasan termasuk Eropa, Kaukasus, dan Asia Tengah terus memompa lebih banyak gas rumah kaca secara keseluruhan. Kondisi ini akibat pengurangan yang dicapai sebagian besar oleh negara-negara Eropa Barat telah diimbangi oleh peningkatan di seluruh kawasan.
Menyajikan temuan, Algayerova mengatakan, penggunaan energi terbarukan meningkat di 29 negara antara 2013-2017. Namun, wilayah tersebut sebagian besar masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk 78 persen dari total konsumsi energi final.
Algayerova mengungkapkan konsekuensi dari perubahan iklim seperti banjir dan kekeringan mempengaruhi kualitas dan kuantitas air bersih di wilayah tersebut. “Temuan laporan ini harus menjadi peringatan nyata bagi kawasan. Kekeringan bersejarah yang dihadapi wilayah itu musim panas ini mengumumkan apa yang harus kita harapkan di tahun-tahun mendatang," ujarnya.
Sejumlah negara telah mundur dari komitmen untuk menghapus secara bertahap bahan bakar fosil untuk pembangkit energi setelah perang di Ukraina. Salah satu negara Eropa yang mengambil keputusan tersebut adalah Jerman pada Juli.
Berlin memutuskan mengaktifkan kembali pembangkit listrik tenaga batu bara dan minyak. Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan, langkah itu hanya sementara dan bahwa pemerintahnya tetap berkomitmen untuk melakukan segalanya untuk memerangi krisis iklim.
Kepala iklim PBB Simon Stiell mengatakan bulan lalu, berharap kembalinya batu bara dan minyak adalah regresi sementara. Dia ingin negara-negara akan mempercepat dorongan mereka untuk energi bersih begitu krisis mereda.