Jumat 07 Oct 2022 14:46 WIB

OJK: Masyarakat di Pedesaan Jadi Sasaran Empuk Pinjol Ilegal

Masyarakat desa suka dengan pinjol karena proses pencairan pinjaman lebih cepat.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pinjaman online ilegal.
Foto: Tim Infogarfis Republika.co.id
Pinjaman online ilegal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut saat ini mayoritas korban pinjaman online ilegal berada di wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan latar belakang ekonomi masyarakat pedesaan didominasi menengah ke bawah.

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi mengatakan hal tersebut juga disebabkan masih adanya gap antara tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat. Berdasarkan survei OJK pada  2019, tingkat Inklusi keuangan sebesar 76,19 persen, namun literasi keuangan hanya sekitar 38,03 persen.

Baca Juga

"Untuk korban pinjol ini memang lebih banyak masyarakat di pedesaan daripada perkotaan," ujarnya saat konferensi pers daring, Jumat (7/10/2022).

Menurutnya alasan masyarakat pedesaan rentan menjadi korban pinjaman online ilegal karena proses pencairan pinjaman lebih cepat dan tidak ribet dibandingkan lembaga keuangan legal. Hal ini membuat masyarakat tertarik untuk mengakses layanan pinjaman online ilegal meski dengan bunga tinggi.

"Kalau bank atau lembaga resmi kan perlu adanya agunan dan lain sebagainya," ucapnya.

Maka itu, OJK berupaya memperluas cakupan program kredit/pembiayaan melawan rentenir (K/PMR). Adapun program kredit murah ini bertujuan untuk memerangi praktik rentenir hingga pinjaman online ilegal yang kerap mencekik masyarakat dengan bunga tinggi.

Dia mencatat, realisasi penyaluran program kredit melawan rentenir sebesar Rp4,4 triliun pada kuartal II-2022. Adapun angka ini menjangkau 337,9 debitur.

Pihaknya berharap, melalui pemberian program kredit lawan rentenir bisa membantu banyak masyarakat maupun pelaku UMKM terhindar dari jerat rentenir maupun pinjaman online ilegal. Menyusul, adanya penawaran bunga yang lebih murah dan aman.

"Kita harapkan dengan peran aktif pemda dan kantor perwakilan cabang OJK di 34 provinsi dapat terus menarik jumlah UMKM untuk mengakses kredit ini," ucapnya.

OJK juga menyelenggarakan Bulan Inklusi Keuangan (BIK) pada Oktober tahun ini. Hal ini bertujuan untuk memperluas akses keuangan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendorong pembangunan nasional. “Perluasan akses keuangan masyarakat akan membantu memperkuat perekonomian nasional,” ucapnya.

Dia melanjutkan kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap produk/ layanan jasa keuangan dan mengkampanyekan budaya menabung berbagai sektor industri jasa keuangan. Selain itu, juga mendorong pembukaan rekening dan penggunaan produk/ layanan jasa keuangan, serta mempublikasikan program literasi dan inklusi keuangan, dan perlindungan konsumen.

“Melalui kemudahan akses keuangan, masyarakat memiliki kesempatan untuk memanfaatkan produk/ layanan jasa keuangan secara lebih optimal, seperti untuk menabung, mendukung kegiatan usaha, berinvestasi dan melakukan proteksi aset atau jiwanya,” kata Friderica.

Setiap Oktober sejak 2016, OJK telah menyelenggarakan BIK secara terintegrasi, masif, dan berkelanjutan untuk mendorong pencapaian target inklusi keuangan sebesar 90 persen pada 2024, sekaligus mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

“Dari program yang ditetapkan Pak Jokowi, 2024 kita inklusi 90 persen, insyaallah kita akan bisa capai," ucapnya.

Adapun tingkat inklusi keuangan 2022 sebesar 80 persen. Namun, rincian tingkat inklusi keuangan 2022 akan disampaikan pada BIK pada 29 Oktober mendatang.

"Harapan kita dalam dua tahun ke depan kita bisa mengejar sampai dengan lebih dari angka 90 persen," ucapnya.

Berdasarkan survei nasional OJK yang dilakukan per tiga tahun, tingkat inklusi dan literasi keuangan meningkat setiap tahunnya. Pada 2019, inklusi keuangan sebesar 76,19 persen dan literasi sebesar 38,03 persen. Kemudian inklusi keuangan sebesar 67,8 persen dan literasi keuangan sebesar 29,7 persen pada 2016. 

Pada 2013, inklusi keuangan sebesar 59,74 dan literasi keuangan sebesar 21,84 persen. Frederica menyebut melalui akses keuangan, masyarakat memiliki kesempatan untuk memanfaatkan produk dan layanan keuangan secara lebih optimal.

Adapun sektor keuangan yang inklusif akan memiliki deposan ritel yang lebih beragam dan stabil, sehingga dapat meningkatkan stabilitas sistem keuangan dan mengurangi risiko sistemik."Stabilitas sistem keuangan yang terjaga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan produk keuangan," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement