Jumat 07 Oct 2022 23:07 WIB

BKSAP DPR: Parlemen Berperan Rumuskan Kebijakan Atasi Perubahan Iklim

Parlemen harus integrasikan pendekatan berbasis HAM terhadap perubahan iklim.

Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Putu Supadma Rudana dalam diskusi P20.
Foto: DPR RI
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Putu Supadma Rudana dalam diskusi P20.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Putu Supadma Rudana, mengatakan bahwa parlemen memiliki peran yang krusial dalam perumusan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.

Hal itu disampaikan dalam Sesi Kedua Sidang the 8th G20 Parliamentary Speakers Summit (P20) P20, di Gedung DPR, Kompleks Senayan, Kamis (6/10). "Semua itu dilakukan melalui tiga fungsi utamanya, yaitu legislatif, penganggaran, dan pengawasan," kata Putu dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat (7/10).

Baca Juga

Dalam konteks tersebut, kata Putu, parlemen harus memastikan bahwa undang-undang atau tindakan tentang perubahan iklim bersifat inklusif dan sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

 

Untuk mencapainya, Putu berpandangan bahwa anggota parlemen harus mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) terhadap perubahan iklim.

"Mengarusutamakan dan meningkatkan visibilitas prinsip-prinsip hak asasi manusia nondiskriminasi, kesetaraan, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan," ujarnya.

Selain mendukung resolusi dan deklarasi tentang aksi iklim di forum internasional, seperti Interparliamentary Union (IPU), Putu mengatakan bahwa filosofi tersebut selalu dianjurkan karena memiliki manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan yang signifikan bagi rakyat.

 

"Salah satu strateginya adalah memastikan partisipasi dan kontribusi manusia dalam aksi iklim yang tidak hanya akan menguntungkan planet ini tetapi ekonomi," kata Putu.

Ia mengatakan masyarakat harus didorong untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan terkait aksi iklim. Ia lantas mengambil contoh kearifan lokal Bali, yaitu filosofi Tri Hita Karana yang selalu dijunjung tinggi.

Filosofi tersebut, kata Putu, mendefinisikan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan alam, serta manusia dan sesama manusia. Di mana mengartikan bahwa Tuhan menciptakan alam untuk dijaga, dihormati, dilindungi, dan dilestarikan.

 

Kemudian, lanjut Putu, di Bali ada Hari Raya Nyepi sebagai bagian implementasi filosofi tradisional, yang mengharuskan masyarakat mematikan lampu dan tidak menggunakan peralatan elektronik selama 24 jam.

"Kami memiliki Subak. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dijadikan pedoman bagi kita untuk melakukan mitigasi perubahan iklim," katanya.

Namun demikian, Putu mengakui bahwa tidak ada negara yang dapat menghadapi krisis iklim dengan sendirinya. Makanya, ia memandang prinsip penuh rasa tanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan masing-masing masih harus diterapkan secara penuh dan efektif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement