REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepatutnya tidak dilakukan suami terhadap istrinya. Islam juga melarang seorang suami memukul wajah istrinya sampai terluka berdarah.
"Wahai suami jangan sampai KDRT. Sangat sangat tidak layak laki-laki memukul wanita sampai terluka berdarah apalagi di wajahnya, memukul dan tempeleng di wajah dilarang agama baik untuk laki-laki, perempuan, anak-anak dan siapa saja," kata Ustadz alumni Ma'had Al-Ilmi Yogyakarta dan juga Spesialis Patologi Klinik dari Univeristas Gajah Mada, Ustadz dr Raehanul Bahraen, MSc, SpPk, melalui pesan grup.
Ustadz Raehanul mengungkapkan, jika memang jantan seharusnya suami berhadapan dengan sesama laki-laki. Beradu otot dengan sesama laki-laki, terlebih di medan jihad.
Akan tetapi suami jika berhadapan dengan wanita, maka dia disifati dalam hadits sebagai kaca yang mudah pecah. Diketuk kasar saja, pecahlah kaca.
اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ “Lembutlah kepada gelas-gelas kaca (maksudnya para wanita)” (HR Al-Bukhari)
"Apalagi dipukul sekuat tenaga bersama kebencian dan cacian. Istrimu adalah patner bersama membangun rumah tangga bukan rumah duka," kata Ustadz Raehanul.
Ustadz Raehanul mengatakan, memang benar diperbolehkan memukul istri, akan tetapi itu langkah terakhir. Ini dilakukan setelah suami intropeksi diri, menasehati secara baik-baik, dan usai menjauhi tempat tidurnya.
"Memukulnya pun penjelasan ulama itu memakai siwak dan bantal yang tujuannya sekadar menunjukkan puncak ketidaksukaan suami pada istri. Bukan dipukul, dibogem atau dipukul dengan kayu dan cambuk. Semoga Allah menjaga rumah tangga kaum Muslimin," kata Ustadz Raehanul.
Polemik terkait dengan bolehnya suami memukul istri memang masih mencuat. Ini antara lain kembali terhadap penafsiran surat An Nisa ayat 34.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”
Seperti apakah memahami kata dharaba atau memukul dalam ayat di atas? Berikut ini penjelasan Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin yang sekaligus Direktur Aswaja Center PWNU Jatim:
Kata dharaba memang memiliki banyak makna sesuai kalimat transitifnya. Jika 'mutaaddi' dengan lafal tertentu akan berbeda maknanya. Dalam QS An Nisa 34 memang bermakna memukul seperti yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir.
Tapi jangan langsung memvonis pukulan seperti menempeleng, mendamprat dan kekerasan lainnya. Perlu memperhatikan hadits-hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam sebelum memberi kesimpulan.
1. Dalam hadits ada penjelasan "tidak menyakiti"
ﻋﻦ ﻋﻄﺎء ﻗﺎﻝ: ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ: ﻣﺎ اﻟﻀﺮﺏ ﻏﻴﺮ اﻟﻤﺒﺮﺡ؟ ﻗﺎﻝ: اﻟﺴﻮاﻙ ﻭﺷﺒﻬﻪ، ﻳﻀﺮﺑﻬﺎ ﺑﻪ.
Atha' bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa yang dimaksud memukul yang tidak melukai?" Ibnu Abbas menjawab, "Siwak dan seukurannya, yang dipukulkan" (Tafsir Qurthubi). Kita tahu sendiri kayu siwak hanya seukuran jari telunjuk.
2. Nabi tidak pernah memukul istri
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: «ﻣﺎ ﺿﺮﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻗﻂ ﺑﻴﺪﻩ، ﻭﻻ اﻣﺮﺃﺓ، ﻭﻻ ﺧﺎﺩﻣﺎ
“Aisyah berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu.” (HR Muslim)
Penjelasan dalam kitab Al-Majmu' setelah menampilkan beberapa hadis kemudian disimpulkan:
ﻓﻲ ﻫﺬا ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻻﻭﻟﻰ ﺗﺮﻙ اﻟﻀﺮﺏ ﻟﻠﻨﺴﺎء “Hadits ini adalah dalil bahwa lebih utama tidak memukul istri.” (Al-Majmu', 16/450)
Syekh Al-Bahuti dari Mazhab Hanbali lebih rasional dalam memberi ulasan:
ﻭاﻷﻭﻟﻰ ﺗﺮﻙ ﺿﺮﺑﻬﺎ ﺇﺑﻘﺎء ﻟﻠﻤﻮﺩﺓ “Lebih baik tinggalkan memukul istri agar cinta tetap ada.” (Kasyaf Al-Qina', 5/210)