REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Hakim di pengadilan Hong Kong memutuskan hukuman penjara tiga tahun kepada lima remaja yang menuntut kemerdekaan dari pemerintahan China. Mereka terkena dakwaan karena dinilai mendesak sebuah revolusi bersenjata di sebuah kasus keamanan nasional.
"Bahkan jika hanya satu orang yang dihasut oleh mereka, stabilitas sosial Hong Kong dan keselamatan penduduk mungkin sangat terancam," ujar Hakim Kwok Wai-kin.
"Tidak ada bukti untuk secara langsung membuktikan bahwa ada orang yang dihasut oleh para terdakwa untuk menumbangkan kekuasaan negara, tetapi risiko nyata ini ada," ujarnya.
Kelima remaja itu beberapa di antaranya adalah anak di bawah umur berusia antara 15 dan 18 tahun pada saat dugaan pelanggaran. Mereka mengakui kesalahan karena menghasut orang lain untuk menumbangkan kekuasaan negara melalui sebuah kelompok bernama Returning Valiant. Empat dari lima remaja itu telah ditahan selama lebih dari satu tahun, dengan hanya satu orang yang diberikan jaminan.
Kwok merinci tindakan para terdakwa menganjurkan "revolusi berdarah" untuk menggulingkan negara China di stan-stan jalanan, Instagram, dan Facebook setelah Hong Kong mengadopsi undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan China. Kwok menyebut dugaan penghasutan itu sebagai kejahatan serius.
Meski menetapkan status kejahatan serius, pengadilan juga memperhitungkan usia dan ketidakdewasaan terdakwa saat menghukum mereka ke pusat pelatihan atau fasilitas penahanan untuk anak muda daripada penjara. Lama tinggal diserahkan kepada otoritas pemasyarakatan untuk memutuskan, meski maksimal hingga tiga tahun.
Jaksa Anthony Chau dan Stella Lo sebelumnya mengatakan kepada pengadilan pamflet kelompok itu menyebutkan Revolusi Prancis dan Ukraina sebagai contoh pemberontakan bersenjata yang berhasil. Mereka mengutip Mao Zedong tentang revolusi sebagai tindakan kekerasan dari satu kelas menggulingkan yang lain.
Jaksa merinci cara polisi menyita bendera, selebaran, senapan angin, amunisi, dan tongkat yang dapat dipanjangkan di sebuah bangunan industri. Setidaknya 22 orang yang terkait dengan kelompok itu ditangkap tahun lalu. Beberapa menghadapi tuduhan terpisah berkonspirasi untuk melakukan terorisme dengan dikenai undang-undang keamanan.
Pihak berwenang di Beijing dan Hong Kong mengatakan undang-undang keamanan telah memulihkan stabilitas pusat keuangan global setelah protes massal anti-pemerintah dan pro-demokrasi pada 2019. Pakar hak asasi manusia di Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyerukan agar undang-undang itu dicabut di tengah kekhawatiran itu digunakan untuk menindak kebebasan mendasar.