REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kitab-kitab ulama terdahulu tak sedikit yang diawali bab tentang niat. Mengapa demikian dan apa yang mendasarinya? Dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab RA, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, siapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR Bukhari)
Ulama besar Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar, menjelaskan, hadits tersebut merupakan salah satu hadits yang menjadi dasar hukum dalam Islam.
Para ulama salaf dan khalaf sangat senang memulai karya tulis mereka dengan mengutip hadits di atas.
Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pembacanya, mengenai keutamaan meluruskan niat. Dalam riwayat Imam Abu Said Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Siapa yang mengarang atau menulis sebuah kitab, hendaknya dimulai dengan mengutip hadits tersebut."
Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi juga pernah menyampaikan, "Guru-guru kami sangat senang mengemukakan hadits-hadits ini (hadits tentang keutamaan niat) pada setiap awal suatu pekerjaan yang berkaitan dengan agama."
Dalam atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, "Seseorang hanya mendapat pemeliharaan (amal) berdasarkan niatnya."
Selain itu, Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, juga mengutip sebuah perkataan bahwa balasan amal diberikan kepada manusia berdasarkan ukuran niat mereka.
Diriwayakan pula dari Abu Ali Fudhail bin 'Iyadh, bahwa dia menyampaikan, manusia tidak beramal lagi karena riya, dan beramal karena manusia adalah syirik. "Apabila kamu beruntung mendapat pemeliharaan Allah dari kedua hal tersebut, maka inilah yang namanya ikhlas," demikian perkataan Abu Ali Fudhail bin 'Iyadh.
Salah seorang salaf, Hudzaifah al-Mar'asyi mengatakan, ikhlas adalah kesamaan antara perbuatan hamba baik lahir maupun batin. Abu Ali ad-Daqqaq juga memberi penjelasan tentang ikhlas.
Dia berkata, "Ikhlas adalah memelihara diri dari keinginan diperhatikan makhluk. Sedangkan shiddiq (benar) adalah menyucikan diri dari memenuhi kehendak nafsu."