REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Organisasi Iran Human Rights mengatakan, setidaknya 185 orang telah tewas selama aksi unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini berlangsung hampir sebulan di Iran. Meski ada tindakan represif dari aparat keamanan, warga Iran tetap melanjutkan aksinya.
“Setidaknya 185 orang, termasuk setidaknya 19 anak-anak, tewas dalam protes nasional di seluruh Iran. Jumlah pembunuhan tertinggi terjadi di provinsi Sistan dan Baluchistan dengan setengah dari jumlah yang tercatat,” kata Iran Human Rights dalam sebuah pernyataan, Ahad (9/10/2022).
Sejumlah video terbaru yang diunggah dan dibagikan di media sosial menunjukkan bahwa unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini masih berlangsung di belasan kota di Iran, termasuk ibu kota Teheran. Siswi sekolah dan mahasiswi turut berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut. Menurut Iran Human Rights, terdapat banyak kasus aparat keamanan Iran menggunakan peluru tajam untuk memecah dan membubarkan massa aksi.
Pekan lalu, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menuding Amerika Serikat (AS) dan Israel menjadi pengatur dan penyokong gelombang demonstrasi yang kini tengah berlangsung di negaranya. Dalam komentar pertamanya, Khamenei mengungkapkan, kematian Mahsa Amini merupakan insiden pahit. “Itu sangat menghancurkan hati saya,” ucapnya, 3 Oktober lalu.
Namun dia tak menaruh simpati pada kerusuhan yang terjadi selama aksi unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini berlangsung. Menurutnya, kerusuhan tersebut memang “direncanakan”. Khamenei menuding AS dan Israel dalang di balik hal tersebut.
Oleh sebab itu, Khamenei mendukung aksi tegas aparat keamanan dalam menindak pengunjuk rasa yang melakukan kerusuhan. “Tugas pasukan keamanan kami, termasuk polisi, adalah untuk memastikan keselamatan bangsa Iran. Mereka yang menyerang polisi membuat warga Iran tidak berdaya melawan preman, perampok, dan pemeras,” kata Khamenei.