REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Perawatan tubuh telah menjadi kebutuhan bagi kaum hawa. Ada beragam cara yang dilakukan mereka untuk mempercantik diri. Terlebih di era modern seperti sekarang ini. Seiring kemajuan zaman, teknologi untuk perawatan kecantikan juga semakin menjamur.
Salah satunya adalah dengan suntik botox. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap suntik botox ini?
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali menyampaikan, Islam pada dasarnya tidak melarang bagi perempuan untuk berhias, termasuk mempercantik diri. Hanya saja, dia mengingatkan, itu harus dilakukan dengan cara-cara yang syar'i. Jika berhias diri dengan menggunakan obat-obatan hendaknya memperhatikan bahan obatnya terbuat dari apa.
"Apakah terbuat dari bahan yang suci atau tidak. Selain bahan, cara penggunaannya juga harus sesuai dengan ketentuan syariat Islam," kata Kiai Muiz kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, MUI telah mengeluarkan fatwa tentang suntik botox untuk kecantikan dan perawatan. MUI memandang, suntik botox merupakan hasil perkembangan teknologi medis untuk kecantikan dan perawatan. Cara ini banyak digunakan masyarakat, utamanya perempuan, untuk perawatan kecantikan.
Kiai Muiz menjelaskan, berdasarkan fatwa MUI, Botulinum Toksin atau botox adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri clostridium botulinum yang dapat mengakibatkan kelumpuhan sementara pada otot. Sedangkan suntik botox ialah salah satu prosedur antipenuaan untuk menghilangkan atau meminimalisir munculnya kerutan dan tanda penuaan lainnya. Dengan kata lain, suntik botox merupakan tindakan medis dengan menyuntikkan botox ke bagian tubuh yang diinginkan.
Suntik botox pun bermanfaat untuk pengobatan. Di antaranya, pertama, untuk memperbaiki kontur wajah yang asimetris, misalnya pada bagian alis dan dahi. Kedua, untuk mengatasi keringat berlebihan seperti pada ketiak, telapak tangan, dan telapak kaki. Ketiga, untuk mengobati kemerahan kulit di wajah. Keempat, untuk mengobati kulit berminyak pada wajah. Kelima, mengobati penyakit neuromuskular seperti miastenia gravis dan sindrom Lambert-Eaton-Rooke, dan jenis penyakit lain.
Toksin dari bakteri yang disebut clostridium botulinum, menggunakan bahan dari mikroba yang ditumbuhkan pada media dalam gelatin dari babi. Namun, ada juga yang menggunakan bahan dari hyaluronic acid, yang dihasilkan dari mikroba rekombinan non-animal.
"Waktu yang dibutuhkan sampai ada efeknya ini berbeda-beda pada setiap orang. Umumnya, efek sudah terlihat dalam beberapa hari, dan akan bertahan selama kurang lebih 3-6 bulan," kata Kiai Muiz, merujuk pada fatwa MUI.
Atas dasar hal tersebut, Kiai Muiz melanjutkan, penggunaan suntik botox hukumnya boleh dengan beberapa syarat. Pertama, tidak untuk tujuan yang bertentangan dengan syariat. Kedua, menggunakan bahan yang halal dan suci. Ketiga, tindakan yang dilakukan terjamin aman. Keempat, tidak membahayakan baik bagi diri, orang lain, maupun lingkungan. Kelima, dilakukan oleh tenaga ahli yang kompeten dan amanah.
Suntik botox ini, terang Kiai Muiz, menjadi haram hukumnya jika memiliki dampak-dampak tertentu. Dampak yang dimaksud ialah yang menimbulkan bahaya (dlarar), penipuan (tadlis), ketergantungan (idman), atau hal yang diharamkan.
Kiai memaparkan, pendapat ulama Abu al-Husain Yahya bin Abu al-Khoir bin Salim al-Syafii dalam kitab al-Bayan fi Madzhab al-Syafii, mengemukakan bahwa jika tulang seseorang pecah dan lepas atau giginya copot, kemudian yang bersangkutan bermaksud untuk menggantinya dengan tulang yang lain. Dalam kondisi ini, jika tulang pengganti itu berasal dari hewan yang halal maka hukumnya boleh.
Namun, jika tulang penggantinya bersumber dari tulang najis seperti tulang bangkai, tulang anjing, atau tulang babi, maka hukumnya tidak boleh. Bila sudah terlanjur menggunakan tulang yang najis, dan tulang tersebut, belum dililit daging, maka wajib dilepas. Sekalipun jika tulang tersebut sudah dililit daging, wajib dilepas bila tidak membahayakan.
Ulama lainnya, Syekh Abdul Karim Zaidan dalam kitab al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar'ah wa al-Bait al-Muslim fi al-Syariah al-Islamiyah juga memberi penjelasan. Dalam pemaparannya, ia menjabarkan kondisi di mana ada perempuan yang terkadang memiliki cacat di tubuhnya akibat luka bakar, luka robek, atau lainnya. Kemudian cacat ini membuat perempuan itu mendapat tekanan batin.
Dalam kondisi demikian, melakukan operasi untuk menghilangkan cacat tersebut, meski tindakan medis ini mengarah pada aspek mempercantik diri. Sebab, kalaupun operasi menghilangkan cacat tersebut diniatkan untuk mempercantik diri, maka tetap dibolehkan. Sebab, perempuan memiliki kecenderungan untuk mempercantik diri dan ini dibolehkan.
Kiai Muiz menambahkan, sebagaimana dalam fiqih madzhab Hanbali, disebutkan juga bahwa perempuan itu boleh mencukur rambut pada wajahnya, mengikisnya sampai habis, mempercantik diri, dan memerahkannya.