Senin 10 Oct 2022 17:15 WIB

Perdana Menteri Malaysia Bubarkan Parlemen

Pembubaran parlemen membuka jalan pemilu yang dijadwalkan beberapa pekan ke depan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob membubarkan parlemen
Foto: AP/Eugene Hoshiko
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob membubarkan parlemen

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob membubarkan parlemen, Senin (10/10/2022). Langkah ini akan membuka jalan untuk pemilihan umum yang dijadwalkan beberapa pekan ke depan.

Dalam pidatonya, Ismail mengatakan tanggal pemilihan umum akan diumumkan komisi pemilihan umum. Pemilihan akan digelar sembilan bulan sebelum masa jabatan parlemen habis.

Baca Juga

Pembubaran ini dilakukan setelah United Malays National Organization (UMNO) menyerukan pemilihan lebih cepat. Partai terbesar Malaysia itu berselisih dengan sekutu-sekutunya di koalisi dan ingin berkuasa sendiri.

"Sesuai Pasal 40(20)(b) dan Pasal 55(2) Konstitusi Federal, Yang Mulia Yang di-Pertuan Agong, melaksanakan prerogatifnya dan mengambulkan permintaan saya untuk membubarkan Parlemen ke-14 hari ini, Senin, 10 Oktober 2022," kata Ismail dalam pidatonya yang siarkan televisi seperti dikutip dari South Morning China Post.

Pemilihan nasional baru dijadwalkan pada kuartal ketiga 2023. Tapi UMNO menekan Ismail menggelar pemilihan umum lebih cepat. UMNO ingin mengkapitalisasi kemenangan di dua pemilihan negara bagian beberapa tahun terakhir dan memanfaatkan gejolak yang memperlemah oposisi.

Pekan lalu Menteri Keuangan Tengku Zafrul Abdul Aziz mengungkapkan anggaran 2023 yang lebih kecil dari tahun ini. Namun rencana pengeluaran termasuk bantuan langsung tunai, pemotongan pajak dan langkah populer lainnya yang dinilai untuk menarik suara 21,2 juta pemilih.

Komisi Pemilihan Malaysia (KPM) diperkirakan akan menggelar rapt pada pekan ini untuk menentukan tanggal pemungutan suara. Berdasarkan peraturan pemilihan harus digelar 60 hari sejak parlemen dibubarkan.

Bencana banjir "satu kali dalam satu abad" yang menewaskan puluhan orang tewas dan memaksa ratusan lainnya mengungsi di beberapa negara bagian pada Desember tahun lalu memicu amarah rakyat pada pemerintah Ismail Sabri. Terutama pada penanggulangan dan respons bencana pemerintah.

Pada 29 September lalu Departemen Meteorologi Malaysia memperingatkan selama musim hujan dua bulan ke depan  banjir bandang dapat terjadi di beberapa wilayah di negara itu.

Perdana Menteri mengatakan pemerintah Malaysia sudah melakukan persiapan dalam menghadapi krisis banjir. Tapi kritikus masih belum yakin.

Malaysia akan melihat perubahan kekuasaan sejak pemilihan 2018 ketika koalisi Barisan Nasional yang dipimpin UMNO yang berkuasa sejak 1957 ditendang pemilih yang marah dengan tingginya biaya hidup dan korupsi diantara pemimpin partai UMNO.

Mantan Perdana Menteri Najib Razak pun telah divonis 12 tahun penjara pada bulan Agustus lalu atas tuduhan korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Kudeta politik pada awal 2020 menjatuhkan pemerintahan Pakatan Harapan yang hanya berkuasa 22 bulan.

Jatuhnya Pakatan Harapan membawa Malaysia dalam pusaran politik. Terjadi pergantian dua kepemimpinan dalam beberapa tahun sementara UMNO kembali menjejakkan kakinya di pemilihan umum untuk kembali berkuasa.

Ismail Sabri yang berkuasa sejak Agustus tahun lalu merupakan perdana menteri Malaysia ketiga sejak 2018. Ia menggantikan Muhyiddin Yassin yang melakukan kudeta politik 2020 tapi kemudian ia juga dipaksa mundur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement