Polisi di Malang Sujud Meminta Maaf, Ahli Forensik Sebut Upaya Urai Luka Batin Masyarakat
Rep: Amri Amrullah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Polres Kota Malang ucapkan permohonan maaf. | Foto: Tangkapan Layar/Twitter
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebuah unggahan di akun Twitter milik Polresta Malang kota, dianggap upaya mengurai luka batin warga Malang, setelah insiden Kanjuruhan yang merenggut ratusan korban jiwa supporter Aremania. Gambar yang diunggah pada Senin (10/10/2022), itu
https://twitter.com/polrestamakota/status/1579336468988071937, menampilkan aparat kepolisian yang berjejer melakukan sujud meminta maaf kepada masyarakat Malang.
Diakui Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menilai pemandangan itu memang cukup mengharukan. "Ini mengingatkan saya pada aksi simpatik serupa yang dilakukan di AS, oleh banyak personel polisi pasca tewasnya George Floyd di lutut polisi," sebutnya, Senin (10/10/2022).
Menurut Reza upaya penyesalan sekaligus permintaan maaf semacam ini memang sangat penting dilakukan. Pasalnya, cara ini berbeda dengan urusan pidana dan etik yang barangkali akan selesai beberapa pekan atau beberapa bulan.
"Luka batin masyarakat pasti akan menganga dalam waktu yang sangat lama. Nah, ketika polisi di Polresta Malang Kota bersujud sedemikian rupa, ini bisa meyakinkan publik bahwa polisi sungguh-sungguh ingin memberikan penawar atas luka itu," paparnya.
Tapi, menurut dia juga, upaya meminta apologi tanpa akuntabilitas jelas tak banyak bermanfaat. Seperti halnya frasa 'reformasi kepolisian'. Sudah membahana sejak puluhan tahun silam, dan digemakan lagi hari-hari belakangan ini. "Bagaimana reformasi itu akan dilakukan? Entahlah," sebutnya.
Yang jelas, ia meyakini, Polri saat ini malah terkesan bergerak ke paramiliteristik. Seragam loreng mirip tentara adalah contohnya. Jadi, alih-alih memberlakukan seragam perang seperti itu, lebih baik polisi pakai baju berwarna terang.
Seragam berwarna terang, menurut dia, mengirim pesan tenang, terbuka, santun, dan bisa didekati. Begitu pula soal pangkat dan segala atribut, ia berharap disederhanakan saja. "Versi gagahnya baru dipakai saat upacara," imbuhnya.
Maka apabila ingin dilihat lebih substantif, menurut Reza, sebetulnya ia berharap Presiden Jokowi mengeluarkan semacam executive order khusus terkait persenjataan dan prosedur penanganan massa oleh Polri. Jadi, karena perubahan mindset dan kultural butuh waktu panjang dan berliku, maka langkah praktisnya adalah fokus pada "memaksa" agar perilakunya yang berubah.
Executive order semacam itu pernah dikeluarkan Presiden Obama saat polisi di Amerika Serikat juga dinilai brutal laiknya organisasi paramiliteristik. "Isi kepala, urusan belakangan. Perilakunya harus berubah. Mindset dan kultur akan menyusul," ujar Reza.
Isi EO itu adalah panduan detil tentang daftar peralatan yang dilarang dan dikendalikan; kebijakan, pelatihan, dan protokol penggunaan peralatan; proses akuisisi peralatan; transfer, penjualan, pengembalian, dan penghancuran peralatan; serta pengawasan, kepatuhan, dan implementasi.
"Tapi saya pesimis Jokowi akan mengeluarkan EO semacam itu. Jadi, Kapolri saja yang ambil langkah komprehensif dengan cakupan seluas seperti EO Obama tadi," katanya.
Menurut dia langkah itu semakin penting, mengingat pada tahun 2020 kabarnya terjadi peningkatan anggaran Polri untuk pengadaan peralatan pengendali massa, antara lain gas air mata, sebesar 14,8 juta dolar. Ini enam kali lebih tinggi daripada tahun sebelumnya.
Ini mengindikasikan bahwa polisi sudah punya ramalan akan banyak situasi massa yang bakal dihadapi dengan cara keras. Penggunaan cara keras itu merefleksikan derajat kesantunan (civility) personel, sekaligus mengisyaratkan tingginya legal cynicism di masyarakat. "Legal cynicism yang ditandai oleh ketidakpatuhan masyarakat pada hukum dan keengganan masyarakat bekerjasama dengan polisi," tegasnya.