Senin 10 Oct 2022 17:24 WIB

Teori Polri: Korban Kanjuruhan Meninggal Kekurangan Oksigen, Bukan karena Gas Air Mata

Polri menegaskan punya payung hukum menggunakan gas air mata pada tragedi Kanjuruhan.

Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). Polda Jatim mencatat jumlah korban jiwa dalam kerusuhan tersebut sementara sebanyak 131 orang. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). Polda Jatim mencatat jumlah korban jiwa dalam kerusuhan tersebut sementara sebanyak 131 orang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Dadang Kurnia

Polri berkeras penyebab kematian dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (Jatim) bukan karena ‘serangan’ gas air mata. Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo menegaskan, tak ada jurnal ilmiah maupun hasil dari kesimpulan para pakar persenjataan, maupun zat kimia yang menyimpulkan penggunaan gas air mata menimbulkan hilang nyawa. 

Baca Juga

Dedi pun menegaskan, aparat keamanan di Polri punya payung hukum dalam kebolehan menggunakan gas air mata sebagai alat dan sarana pengendalian massa anarkistis. Polri mengacu pada Protokol Jenewa 22/1993 yang sudah diratifikasi ke dalam sistem hukum di Indonesia.

Terkait dampak penggunaan gas air mata, kata Dedi, Polri mengacu pada pendapat Doktor Mas Ayu Elita Hafizah, dan Profesor I Made Agus Gelgel. Doktor Mas Ayu, kata Dedi adalah akademisi di bidang zat kimia dari Universitas Indonesia (UI), dan pakar persenjataan di Universitas Pertahanan (Unhan). Sedangkan Profesor Gelgel, dikatakan Dedi, adalah pakar toxicology atau ahli racun dan zat kimia dari Universitas Udayana, Bali.

“Saya tegaskan, bahwa menurut pendapat para ahli-ahli tersebut, bahwa gas air mata atau CS (istilah kimia-red), dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” begitu kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/10/2022). 

Tak cukup penjelasan dua pakar tersebut. Menurut Dedi, dari permintaan keterangan dan kesaksian dari para dokter yang melakukan perawatan terhadap 130-an korban meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan, pun disebutkan, penyebab kematian bukan karena gas air mata.

“Dari penjelasan para ahli, dan spesialis yang menangani korban, baik korban yang meninggal dunia, maupun yang luka-luka. Dari dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata menyebutkan, tidak satu pun penyebab kematian adalah gas air mata,” ujar Dedi menambahkan.

Dedi meyakini, hasil investigasi dan bukti ilmiah yang menyebutkan korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan, disebabkan karena asfiksia. “Tetapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen,” sambung Dedi.

Dedi mengungkapkan, dari hasil penyidikan kondisi kekurangan oksigen tersebut, terjadi karena aksi saling berdesak-desakan para suporter dan penonton saat para aparat keamanan melontarkan gas air mata ke arah tribun. Kondisi tersebut, yang menurut Dedi, menimbulkan korban jiwa ratusan jiwa dalam tragedi Kanjuruhan.

“Karena terjadi desak-desakan, kemudian terinjak-injak, bertumpuk-tumpuk, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 3, 11, 13, 14. Di situ jatuh korban yang sangat banyak. Jadi kami perlu menyampaikan ini,” terang Dedi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement