REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PAN secara tegas menolak praktik penggunaan identitas agama dimasukkan ke dalam turbulensi politik demi peningkatan elektoral. Juru Bicara (Jubir) Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi, mengatakan dasar pilihan karena kesamaan asal (primordial) berdasarkan suku, agama, ras, etnis, atau budaya adalah hak politik warga yang dijamin oleh konstitusi.
"Tetapi jangan memasukkan perbedaan primordial itu untuk alat politik dalam rangka menjelekkan, memfitnah, hate speech dari figur tertentu untuk tujuan meningkatkan elektoral. PAN menentang dan menolak gaya dan cara politik identitas seperti ini," kata Viva kepada Republika, Senin (10/10/2022).
Menurutnya penggunaan istilah-istilah cebong, kampret, kadrun, dan istilah lainnya sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu menyebabkan polusi dan udara politik menjadi pengap, tidak sehat, dan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia menjelaskan, istilah tersebut adalah bentuk framing media yang destruktif dan menjadi racun yang mengotori otak dan pemikiran masyarakat Indonesia.
"Hal itu akan menyebabkan kompetisi elektoral di pilpres mengarah ke zero sum game, menang jadi arang kalah jadi abu. Atau seperti kata pemikir Thomas Hobbes, 'Homo homini lupus est', manusia bagai serigala yang memakan atau menikam sesama manusia," ucapnya.
Viva mengatakan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan kerap menyampaikan bahwa politik adalah jalan mulia untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencerdas kehidupan bangsa. Karena itu jangan dikotori dengan sikap yang merusak integrasi nasional.
"PAN mengajak masyarakat untuk melukis wajah politik melalui pertarungan ide, gagasan, dan pemikiran tentang memajukan peradaban Indonesia ke depan. Menjadikan pilpres sebagai pertandingan persahabatan, yang menyenangkan, menggembirakan, dan mencerdaskan," ujar wakil ketua umum PAN tersebut.