REPUBLIKA.CO.ID, COLOMBO -- Kantor presiden Sri Lanka mengatakan negara itu masih menjadi negara pendapatan menengah. Tapi meminta Bank Dunia untuk memberikan pinjaman yang biasanya ditawarkan ke negara miskin. Pernyataan ini sebagai klarifikasi atas komentar juru bicara kabinet.
Sebelumnya juru bicara itu mengatakan Sri Lanka yang mengalami krisis ekonomi terburuk dalam tujuh dekade akan mengubah status ekonominya menjadi "negara pendapat rendah" untuk mempermudah mendapatkan pendanaan. Tapi kantor Presiden Ranil Wickremesinghe mengatakan perubahan itu tidak dilakukan.
"Sri Lanka masih negara pendapatan menengah," kata kantor presiden dalam pernyataannya, Selasa (11/10).
"Kami akan meminta Bank Dunia untuk memberikan kelayakan pada negara ini menerima pinjaman yang ditawarkan Asosasi Pembangunan Internasional (IDA)," tambah kantor itu. IDA adalah lembaga sayap Bank Dunia yang membantu negara-negara termiskin duni untuk mereduksi kemiskinan dengan memberikan hibah dan pinjaman tanpa bunga.
Kantor Bank Dunia di Colombo belum memberikan komentar tentang permintaan Sri Lanka. Mereka mengatakan akan melanjutkan diskusi dengan negara berpopulasi 22 juta orang itu. Bank Dunia mengatakan \"prioritas utamanya\" bergerak maju dalam restrukturisasi utang dan reformasi ekonomi yang membawa Sri Lanka kembali ke jalur yang benar.
Tahun lalu pemerintah menilai ekonomi Sri Lanka sebesar 89 miliar dolar. Bahkan dengan prediksi kontraksi produk domestik bruto sebesar 8,7 persen tahun ini dan depresiasi mata uang, perekonomian negara itu akan sekitar 75 miliar dolar dengan pendapatan per kapita sebesar 3.400 dolar.
Pada tahun 2021 Bank Dunia mendefinisikan negara pendapat rendah adalah negara yang pendapatan perkapitanya kurang dari 1.085 dolar.
Sri Lanka sudah mendapatkan kesepakatan awal dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk bailout sebesar 2,9 miliar dolar pada bulan September lalu. Tapi Sri Lanka harus menempatkan jalur utangnya berkelanjutan sebelum dananya bisa cair.
Pandemi Covid-19 memukul keras perekonomian yang mengandalkan pariwisata dan memotong pemasukan dari warga yang bekerja di luar negeri. Sementara kenaikan harga minyak, pemotongan pajak dan larangan impor pupuk kimia selama tujuh bulan tahun lalu turut menjadi faktor krisis ekonomi Sri Lanka.
Sri Lanka juga kekurangan mata uang dolar untuk membayar makanan, bahan bakar dan obat-obatan impor. Nilai rupee mereka juga jatuh dan inflasi tak terkendali.