REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetrasi teknologi digital berdampak kepada timbulnya pergeseran kebiasaan membaca buku. Para pembaca semakin dimudahkan untuk mendapatkan informasi melalui gawai. Seiring dengan penetrasi teknologi digital, penerbit juga dihadapkan dengan tuntutan baru untuk beralih menggunakan platform digital guna meningkatkan penjualan bukunya.
"Tidak hanya buku tercetak, penerbit harus mampu menjual buku berformat digital," ujar Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Mariana Ginting, dalam "Orasi Ilmiah Pustakawan Ahli Utama" di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Berdasarkan pengamatannya, hasil tugas akhir mahasiswa jarang dibaca oleh masyarakat karena bahasa yang digunakan kaku sehingga kurang menarik. Sebab itu, untuk menambah jumlah penulis di Indonesia, dia menyarankan agar dibuat regulasi atau kebijakan yang mewajibkan setiap lulusan akademik selain skripsi, tesis, disertasi, juga menulis buku populer yang ber-ISBN sesuai dengan minat mahasiswa bersangkutan.
"Dengan demikian, karya dan jumlah penulis akan bertambah serta topik yang dibahas juga akan bervariasi," ujar dia. Selain itu, dia pun menyampaikan, perlu juga jaringan penerbit yang kuat dan dapat berbagi sumber daya sehingga penyebaran terbitan akan menekan biaya distribusi dan membuat harga buku lebih murah.
Sementara itu, Kamaludin, pustakawan ahli utama Perpusnas lain, dalam orasi ilmiahnya memaparkan pustakawan juga berperan dalam penataan sumber daya audiovisual terintegrasi nasional. Dia mendapati kondisi, sumber daya audiovisual yang dimiliki empat lembaga, yakni LIPI, LAPAN, BPPT, dan BATAN yang tergabung dalam BRIN belum terintegrasi.
Pengintegrasian sumber daya audiovisual secara nasional diharapkan dapat menjadi modal pengembangan budaya riset. "Peran dan tanggung jawab yang diampu oleh pustakawan ini harus bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, baik di dalam maupun di luar instansi," jelas dia.
Pustakawan Ahli Utama Sekretariat Daerah Bali, Luh Putu Haryani, memaparkan orasi ilmiah dengan tema Peran Perpustakan dalam Pembinaan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan Layanan Invokasi. Dia menjelaskan, layanan perpustakaan di lembaga pembinaan tidak hanya sebagai tempat peminjaman buku, tetapi juga membina anak dengan layanan Inklusi, Advokasi, dan Edukasi (Invokasi).
Bagi dia, anak adalah harapan bangsa di masa yang akan datang sehingga kehidupannya wajib diperhatikan dengan baik. Pada penelitiannya, dia menemukan permasalahan warga binaan anak (WBA) yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga masalah, yaitu pendidikan, kepribadian dan psikologis, serta hiburan/rekreasi.
“Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan program pembinaan yang komprehensif meliputi program pendidikan yang lebih luwes, bimbingan/advokasi kepribadian dan psikologi, serta program lain yang bersifat inklusi," kata dia.
Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, dalam arahannya menuturkan, pustakawan dituntut untuk mendukung peningkatan kualitas serta harkat dan martabat kaum marginal. Saat ini, pustakawan harus mampu untuk meyakinkan seluruh pemangku kepentingan atas keberadaan perpustakaan dalam kehidupan masyarakat.
Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial yang digaungkan oleh Perpusnas dinilai dapat berperan untuk mengubah hidup masyarakat menjadi lebih baik. Dia menegaskan, perpustakaan secara nyata berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian nasional melalui pembekalan kemampuan untuk masyarakat dalam membangun usaha kecil menengah.
"Yang paling penting adalah bagaimana cara kita bisa mengubah bangsa kita menjadi bangsa yang besar dengan mengimplementasikan 70 persen transfer knowledge yang ada di perpustakaan kepada masyarakat," kata dia.