REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjadi regulasi baru yang memperkuat komitmen Pemerintah dalam melaksanakan transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE).
"Perpres ini dalam perjalanannnya mengalami beberapa perubahan dari sisi substansinya. Sebelumnya, kita ingin ada acuan harga listrik yang akan dibeli secara single offtaker oleh PLN. Tetapi kemudian menjadi lebih luas dan komprehensif dengan apa yang sedang disusun, dikembangkan, didorong dan dijalankan oleh Pemerintah untuk transisi energi menuju NZE," tutur Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, Selasa (11/10).
Menurut Dadan, meskipun penamaan Perpres ini terkait dengan EBT, tetapi di dalamnya terdapat pengaturan-pengaturan secara khusus yang memprioritaskan pengembangan pembangkit EBT dan menghentikan pembangkit PLTU.
"Dalam perpres ini disebutkan secara jelas Indonesia tidak akan membangun PLTU yang baru, kecuali yang sudah masuk dalam rencana, kecuali yang masuk RUPTL, kecuali yang sudah masuk PSN (Proyek Strategis Nasional), yang memberikan kontribusi ekonomi secara strategis dan besar secara nasional. Itu juga diikat di dalamnya bahwa dalam 10 tahun setelah pembangkit tersebut beroperasi, emisi Gas Rumah Kaca harus turun minimal 35 persen" jelasnya.
Pemerintah, lanjut Dadan, akan terus berupaya mematuhi komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, terutama untuk mencapai komitmen yang ambisius. Komitmen yang dimaksud yaitu komitmen penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030 sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs). Dan untuk Net Zero Emission (NZE) sektor energi ditargetkan akan dicapai pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Dengan terbitnya Perpres ini, kita jadi punya suatu regulasi yang mendukung percepatan EBT menjadi lebih komprehensif. Kebijakan harga yang lebih jelas, yang ditetapkan oleh Presiden, yang selama ini regulasi berada dalam level Peraturan Menteri," imbuh Dadan.
Perpres ini diharap mampu menarik investasi khususnya investasi hijau dari pembangkit beserta hal terkait lainnya dan dapat mendorong peningkatan bauran EBT.
"Dengan semakin lengkapnya regulasi, ada investasi-investasi industri pendukung pada akhirnya akan meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan menjaga daya saing dan kompetisi. Dengan tersedianya pembangkit listrik hijau, diharapkan akan mendorong green industry, untuk industri-industri yang harus memanfaatkan energi bersih, kita punya target 23 persen pada tahun 2025," tutur Dadan.
Lebih lanjut Dadan mengungkapkan adanya arahan Presiden terhadap Kementerian/Lembaga terkait sesuai kewenangannya melakukan upaya-upaya penguatan regulasi dan program kegiatan.
"Kita sudah melakukan sinergi dengan lembaga dan kementerian lain untuk melakukan rule improvement. Kementerian ESDM akan secara pro-aktif, berdiskusi dan melakukan pembahasan untuk menyusun regulasi lain, yang kami lakukan secara paralel," urainya.
Ia pun menyampaikan apresiasi yang setingi-tingginya kepada para perwakilan Kementerian/Lembaga yang telah terlibat aktif dalam proses penyusunan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022.