REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Badan intelijen siber Inggris pada Selasa (11/10/2022) menuduh China mencoba menulis ulang aturan keamanan internasional. Inggris mengatakan, Beijing menggunakan kekuatan ekonomi dan teknologinya untuk mengendalikan negaranya maupun negara lain.
Direktur Government Communications Headquarters (GCHQ), Jeremy Fleming, mengatakan, tumbuhnya kekuatan Beijing adalah masalah keamanan nasional yang akan menentukan masa depan dunia. Dalam pidato publik kepada lembaga think tank Royal United Services Institute, Fleming menuduh, otoritas Beijing ingin mendapatkan keuntungan strategis dengan membentuk ekosistem teknologi dunia.
“Dalam hal teknologi, tindakan bermotivasi politik dari China adalah masalah yang semakin mendesak yang harus kita akui dan atasi. Teknologi tidak hanya menjadi area peluang, kompetisi dan kolaborasi, tetapi juga menjadi medan pertempuran untuk kontrol, nilai, dan pengaruh," ujar Fleming.
Fleming berpendapat, sistem satu partai di Beijing berusaha mengendalikan populasi China. Dengan sistem itu, Beijing melihat negara-negara lain sebagai musuh potensial atau negara klien potensial, untuk diancam, disuap atau dipaksa.
Fleming memperingatkan, China sedang berusaha memecah infrastruktur internet agar dapat melakukan kontrol lebih besar. Dia juga mengatakan, China berusaha menggunakan mata uang digital oleh bank sentral untuk mengintip transaksi pengguna. Langkah ini untuk menghindari sanksi internasional di masa depan, seperti sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia atas invasinya ke Ukraina.
Fleming berpendapat, sistem satelit BeiDou China dapat berisi kemampuan antisatelit yang kuat, dengan doktrin menolak akses negara lain ke luar angkasa jika terjadi konflik.
Dia meminta perusahaan dan peneliti Barat memperkuat perlindungan kekayaan intelektual. Dia juga menyerukan kepada negara-negara demokratis mengembangkan alternatif yang dapat mencegah negara berkembang menggadaikan masa depan dengan membeli teknologi China.
Flaming mengatakan, negara-negara demokrasi dunia tidak boleh ketinggalan dalam bidang-bidang mutakhir seperti komputasi kuantum, dan memperingatkan potensi kelemahan semikonduktor. Termasuk chip penting yang digunakan dalam elektronik sehari-hari. Taiwan adalah pemimpin dunia dalam produksi chip.
“Peristiwa di Selat Taiwan dan risiko apa pun terhadap rantai pasokan vital itu, berpotensi berdampak langsung pada ketahanan Inggris dan pertumbuhan global di masa depan,” kata Fleming.
Menanggapi pernyataan Fleming, seorang pejabat China di Beijing mengatakan, pengembangan teknologi China ditujukan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dan tidak menimbulkan ancaman. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, mengatakan, tuduhan Inggris tidak berdasar dan menimbulkan provokasi.
"Tuduhan ini tidak memiliki dasar faktual sama sekali. Tuduhan ini berpegang teguh pada apa yang disebut ancaman China dan memprovokasi konfrontasi tidak menguntungkan siapa pun dan pada akhirnya akan menjadi bumerang," kata Mao.
Hubungan antara Inggris dan China semakin membeku dalam beberapa tahun terakhir. Pejabat Inggris menuduh Beijing melakukan dalih ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Mata-mata Inggris telah memberikan penilaian yang semakin negatif terhadap pengaruh dan niat Beijing. Tahun lalu kepala badan intelijen luar negeri MI6, Richard Moore, menyebut China sebagai salah satu ancaman terbesar bagi Inggris dan sekutunya.
Pada 2020, mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengikuti langkah Amerika Serikat dalam melarang perusahaan teknologi China Huawei sebagai risiko keamanan. Johnson memerintahkan Huawei untuk dikeluarkan dari jaringan telekomunikasi 5G Inggris pada 2027.