REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mukta Sharma, Technical Officer (AMR) WHO Indonesia mengatakan, penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba atau antibiotik yang berlebihan pada manusia, hewan dan tumbuhan mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR di seluruh dunia. Ia menyebutkan, studi global telah memperkirakan bahwa lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara, pada tahun 2019 secara langsung atau tidak langsung karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
"Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi," ucap Mukta, dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Tiap tahun terjadi peningkatan prevalensi bakteri resisten antibiotik yang menjadi penyebab infeksi, terutama infeksi berat, seperti radang paru-paru dan sepsis. Kemudian di tahun 2019, prevalensi dua jenis bakteri yang resisten terhadap sefalosporin generasi 3 mencapai lebih dari 60 persen.
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa resistensi antimikroba (AMR) menjadi pandemi senyap (silent pandemic) yang dapat mengancam dunia karena kasus berkembang dengan pesat. Hal lain yang membuat AMR menjadi ancaman dunia adalah dampaknya pada ekonomi global yang diperkirakan dapat merugi sampai sekitar 100 triliun Dollar Amerika pada tahun 2050 mendatang. Mirisnya, pandemi senyap itu berhasil membuat Indonesia masuk ke dalam lima negara dengan perkiraan peningkatan persentase konsumsi antimikroba tertinggi pada 2030.
Country Team Leader FAO ECTAD Indonesia Luuk Schoonman menjelaskan, AMR dapat menyebar di antara inang dan lingkungan yang berbeda, dan mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba dapat mencemari rantai makanan. "Kita harus bertindak sekarang, tidak menunggu sampai AMR menjadi lebih buruk dan mempengaruhi lebih banyak orang di dunia," katanya.